PENDAHULUAN
Salah satu hasil
konsensus Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (KF-MUI) di Padang Panjang akhir
Januari 2009 lalu adalah fatwa tentang hukum haramnya merokok bagi anak-anak,
wanita hamil, dan pengurus MUI sendiri. Pro-kontra menyelimuti fatwa
controversial tersebut, terlabih daerah yang mejadi tempat tembakau berkembang
biak, yang nota bene banyak petani yang menggantungkan hidupnya dari usaha
tanaman tembakau serta tempat dimana perusahaan rokok berdiri. Namun dibalik
pro-kontra tersebut ada fakta yang unik, ternyata sebagian para Ulama/ Kyai dalam
MUI sendiri dulunya adalah pecandu berat rokok. Bahkan kopi dan rokok masih
menjadi “menu utama” diberbagai pesantren di Jawa. Setiap sowan dirumah Kyai
pastilah kopi dan rokok menjadi “menu utama” sang kyai. Tanpa kopi dan rokok
mengaji dan belajar terasa hambar dan kurang sreg serta inspirasi berkarya
terasa tumpul, inilah realitas dibalik bilik pesantren di Jawa. Walaupun tidak
semua, tetapi meyoritas mengakui demikian adanya. Terkesan bahwa fatwa yang
dikeluarkan merupakan keputusan Final, absolute, dan tidak menerima tafsir yang
lain. Fatwa MUI terjebak dalam “penalaran eksklusif” sehingga menfikkan tafsir
yang lain yang sangat mungkin enyebar diberbagai pemikiran public. Meminjam
bahasa Friedman, tidak ada “praduga
epistemologis” dimana MUI sebagai pemegang otoritas fatwa membagi
epistemology pengetahuan tertentu kepada mereka yang mentaati sehingga terbuka
dialog dan sharing yang saling
memberikan kemaslahatan satu dengan yang lain.
Topik ini relatif menjadi wacana baru,
sehingga belum ada ketetapan hukum syariah dari para fuqaha klasik dalam
berbagai madhab, disamping belum
sempurnanya gambaran tentang substansi masalah dan dampak berdasarkan riset
kesehatan yang akurat. Maka wajar setelah itu terjadilah perbedaan pendapat
dari berbagai madhab fiqih tentang masalah ini. Sebagaian berpendapat haram,
sebagaian berpendapat makruh, sebagaian lagi berpendapat boleh (mubah), dan
terutama para ulama yang terlanjur mengkonsumsinya dan sebagian lagi tidak
memberi hukum secara mutlak, tetapi menetapkan hukum-hukum secara rinci. Bahkan
sebagaian lagi dari mereka berdiam diri, tidak mau membicarakannya. Maka kami
mencoba untuk mengangkat topik ini untuk menjadi kajian diskusi dalam taraf
mahasiswa
A.
PENGERTIAN DAN EFEK MEROKOK
Tumbuhan
yang dikenal dengan nama tembakau atau sigaret (ad-dukhan atau asy-syijar) baru dikenal pada akhir abad ke sepuluh
hijriah. Semenjak masyarakat mulai mengkonsumsinya sebagai bahan isapan, hal
ini mendorong para ulama pada zaman itu untuk mengangkatnya sebagai bahan
kajian fiqh agar terjadi kejelasan hokum halal dan haramnya. Topik ini relatif
menjadi wacana baru, sehingga belum ada ketetapan hukum syariah dari para
fuqaha klasik dalam berbagai madhab,
disamping belum sempurnanya gambaran tentang substansi masalah dan dampak berdasarkan
riset kesehatan yang akurat. [1]
B.
TINJAUAN DALIL TENTANG HUKUM ROKOK
1. Pendapat yang mengharamkan rokok
mengemukakan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Karena memabukkan
Diantara
mereka ada yang mengatakan bahwa rokok itu memabukkan, sedangkan tiap-tiap yang
memabukkan itu hukumnya haram. Yang dimaksud dengan muskir (memabukkan) menurut
mereka ialah segala sesuatu yang dapat menutup akal, meskipun hanya sebatas
tidak ingat.
b. Karena Melemahkan badan
Mereka
berkata, “kalaupun merokok itu tidak sampai memabukkan, minimal perbuatan ini
dapat menyebabkan tubuh menjadi lemah dan loyo”,dari ummu salamah ra: “Bahwa Rasulullah Saw, melarang segala
sesuatu yang memabukkan dan melemahkan”. (HR. Ahmad dan Abu Daud). Selain
itu penetapan hukum haramnya rokok ini karena membahayakan berdasarkan firman
Allah swt:
4. . . . wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Dan janganlah kamu menbunuh dirimu, sesungguhnya
Allah adalah Maha penyayang kepadamu (an-Nisaa’:29)
c. Menimbulkan Mudharat
Mudharat
yang mereka kemukakan disini terbagi menjadi 2 macam:
1) Dharar
badani (bahaya yang mengenai badan):
menjadikan badan lemah, wajah pucat, terserang batuk, bahkan dapat menimbulkan
penyakit paru-paru. Dalam konteks ini tepat sekali perkataan sebagian ulama
bahwa tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu yang membahayakan, baik
bahaya itu datang seketika maupun bertahap. Bahkan yang bertahap inilah yang
lebih sering terjadi.
2) Dharar
mali (Mudharat pada harta), yang dimaksud
ialah bahwa menggunakannya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi badan dan
ruh, tidak bermanfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan Nabi SAW telah melarang
membuang-buang harta, Allah berfirman:
wur . .
. öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x.
tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$#
(
tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$#
¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
“…dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar pada Tuhannya” (Al-Isra’: 26-27)
Salah seorang ulama berkata: Bila
seseorang sudah mengakui bahwa ia tidak menemukan manfaat rokok sama sekali,
maka seharusnya rokok itu diharamkan, bukan dari segi penggunaanya, tetapi dari
segi pemborosan. Karena menghambur-hamburkan harta itu tidak ada bedanya,
apakah dengan membuangnya ke laut atau dengan membakarnya atau dengan
merusaknya
Diantara seorang ulama yang mengharamkan
dan melarang rokok adalah: Syekhul Islam Ahmad As Sanhuri Al Bahuti al Hambali
dan dari kalangan madhab Maliki ialah Ibrahim Al Laqqani (dari Mesir), Abul
Ghaits Al Qasyasy Al Maliki (dari Maroko), Najmuddin bin Badruddin bin
Mutassiril Quran dan Al ‘Arabi Al Ghazi Al ‘Amiri Asy Syafi’I (dari Damsyik),
Isa Asy Syahwai Al Hanafi dan lain sebagainya.[2]
2. Adapun golongan yang mengatakan bahwa
rokok itu makruh mangemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Merokok itu tidak lepas dari dharar (bahaya), lebih-lebih jika
terlalu banyak melakukannya. Sedangkan sesuatu yang sedikit itu bila diteruskan
akan menjadi banyak.
b. Mengurangkan harta, kalau tidak sampai
pada tingkat tabdhzir, israf, dan
menghambur-hamburkan uang, maka ia dapat mengutangkan harta yang dapat
digunakan untuk hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi
sahabatnya dan bagi orang lain
c. Bau asapanya mengganngu serta mentakiti
orang lain yang tidak merokok. Segala sesuatu yang dapat menimbulakan hal
seperti ini makruh menggunakannya, seperti halnya memakan bawang mentah, kucai
dan sebagainya (baunya dapat mengganggu orang lain)
d. Menurukan harga diri bagi orang yang
mempunyai kedudukan social terpandang
e. Dapat melalaikan seseorang untuk
beribadah secara sempurnya
f. Bagi orang yang biasa merokok, akan
membuat pikirannya kacau jika suatau saat dia tidak mendapatkan rokok.
g. Jika perokok menghadiri suatu majlis, ia
akan menggangu orang lain.
Syekh Abu sahal Muhammad bin Al Wa’izh
Al Hanafi berkata: “Dalil-dalil yang menunjukkan kemakruhannya ini bersifat qath’i sedangkan yang menunjukkkan keharamannya
bersifat zhanni. Kemakrukan bagi perokok disebabkan menjadikan
pelakunya hina dans sombiong , memutuskan hak dank eras kepala. Selain itu ,
sefgala sesuiatu yang baunya menggangu orang lauin adalah makruh, sama halnya
dengan memakan bawang. Maka asap rokok yamhg memiliki damopak negative ini
lebih utang untuk dilatramng, dan perokokonya lebih layak dilarang masuk masjid
serta menghadiru pertemuan-pertemuan.”
3. Golongan yang memperbolehkan merokok ini
berpegang pada kaidah bahwa asal segala sesuatu itu boleh, sedangkan anggapan
bahwa rokok itu memabukkan atau menjadikan lemah itu tidak benar. Iskar (memabukkan), menurut mereka,
berarti hilangnya akal disertai keadaan yang lemah atau loyo. Sedangkan kedua
hal ini tidak terjadi pada orang yang merokok. Memang benar bahwa orang yang
tidak biasa merokok akan merasakan mual bila pertama kali melakukannya , tetapi
hal ini tidak menjadikan haram, jika orang mengganggap merokok sebagai sebagai
perbuatan israf, maka hal ini tidak
hanya terdapat pada rokok. Inilah pendapat Al’ Alamah Syekh Abdul Ghani An
Nabilisi.
Syekh
Musthafa As Suyuti Ar Rabbani , pensyarah kitab
Ghayatul Muntaha Fi Fiqhil Hanabillah berkata: “Setiap orang yang mengerti
dan ahli tahqiq, yang mengerti tentang pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya,
yang mau bersikap objektif, apabila sekarang ditanya tentang hukum
merokok—setelah rokok dikenal banyak orang serta banyaknya anggapan yang
menyataan bahwa rokok dapat membahayakan akal dan badan –niscaya ia akan
membolehkannya. Sebab asal segala sesuatu yang tidak membahayakan dan tidak ada
nash yang mengharamkannya adalah halal dan mubah, sehingga ada dalil syara’,
yang mengharamkannya. Para muhaqqiq yang telah sepakat berhukum kepada akal dan
pendapat tanpa sandaran syara’ adalah
batal”. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh syekh Mustafa yang didasarkan
pada kenyataan yang terjadi pada zaman beliau.[3]
4. Adapun golongan yang mengemukakan
pendapatnya secara rinci mengatakan bahwa sesungguhnya tumbuhan ini (tembakau) pada dasarnya adalah suci,
tidak memabukkan, tidak membahayakan, dan tidak kotor, Jadi pada dasarnya asalnya adalah mubah, kemudian berlaku padanya hukum-hukum syariat seperti
berikut:
a. Barang siapa yang menggunakanya tetapi
tidak , menimbulkan mudharat pada badan atau akalnya, maka hukumnya adalah jaiz
(boleh).
b. Barang siapa yang apabila menggunakanya
menimbulkan mudharat, maka hukumnya haram, seperti orang yang
mendapatkan mudharat bila menggunakan madu.
c. Barang siapa yang memanfaatkanya untuk
menolak mudharat, semisal penyakit, maka wajib menggunakannya.
Jadi
hukuk-hukum ini ditetapkan bersadasarkan sesuatu yang akan ditimbulkannya ,
sedangkan pada asalnya adalah mubah, sebagaimana yang kita
ketahui.[4]
5. Pendapat Ulama Mutaakhirin
Apabila
kita pejamkan mata kita dari pendapat para ulama terdahulu dan kita lihat
pendapat ulama-ulama sekarang, maka akan kita dapati bahwa mereka juga berbeda
pendapat menggenai hukum masalah ini.
Misalnya
syekh Hasanain Makhluf, Mufti Mesir, yang menginventarisasi pendapat sebagaian
ulama sebelumnya, berpendapat bahwa hukum asal rokok adalah mubah.
Beliau juga mengatakan bahwa keharaman dan kemakruhannya apabila timbul
faktor-faktor lain, seperti jika menimbullkan mudharat baik banyak atau sedikit
terhadap jiwa maupun terhadap harta atau kedua-duanya, atau karena mendatangkan
mafsadat dan mengabaikan hak seperti
mengabaikan hak istri dan hak anak-anaknya atau orang yang nafkahnya menjadi
tanggunganya menurut syarak. Apabila
terdapat unsur-unsur seperti ini maka hukumnya menjadi makruh dan haram. Sesuai
dengan dampak yang ditimbulkannya. Sebaliknya jika tidak terdapat dampak
negative seperti itu , maka hukumnya halal.[5]
Pendapat
dari Al Maghfur Syekhul Akbar Mahmud Syaltut,
Rektor Al-Azhar, didalam kitab beliau: “Kalaupun tembakau tidak menjadikan
mabuk dan tidak merusak akal, tetapi masih menimbulkan mudharat ytang dapat
dirasakan pengaruhnya pada kesehatan orang yang merokok dan yang tidak merokok.
Para dokter telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang ada didalamnya diketahui
mengandung racun, mesklipun lambat yang akan dapat merampas kebahagiaan dan
ketenangan hidup manusia karena itu tidak diragukan lagi bahwa tembakau
(merokok) dapat menimbulkan gangguan dan mudharat, sedangkan hal ini merupakan
sesuatu yang buruk dan terlarang menurut pandangan Islam.
Disisi
lain jika kita perhatikan pengeluaran belanja untuk rokok ini ternyata lebih
banyak, padahal anggaran tersebut dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih baik
dan bermanfaat. Maka dari sudut pandang ini merokok jelas-jelas dilarang dan
tidak diperbolehkan oleh syara”. Melihat dampak merokok yang buruk bagi
kesehatan dan keuangan tahulah kita bahwa hal ini termasuk perbuatan yang
dibenci oleh syarak. Perlu juga di ingatkan bahwa dalam menetapkan atau
makruhnya suatu perkara , hukum Islam tidak hanya bersandar pada adanya nash
yang khusus menjelaskan masalah yang bersanggkutan. Berbagai illat hukum dan kaidah-kaidah syariyyah yang umum mempunyai peranan
penting dalam menetapkan hukum, dan dengan kaidah serta illat tersebut Islam memiliki keleluasaaan untuk menetapkan hukum
segala sesuatu yang di munculkan oleh manusia, apakah hal itu halal atau haram.
Caranya adalah dengan mengetahui kekhususan-kekhususan dan dampaknya yang
dominan terhadap sesuatu, apabila menimbulkan dharar terlaranglah hal itu, jika menimbulkan manfaat saja, atau
biasanya bermanfaat, maka hukumnya mubah, dan jika manfaat serta mudharatnya
sama, maka menjaga itu lebih baik dari pada mengobati”.[6]
Perlu
kami kemukakan disini bahwa syekh Mahmud Syaltut rahimahullah terkena cobaan
berupa kebiasaan merokok yang dilakukan sejak muda sehingga beliau tidak dapat
membebaskan diri dari padanya. Tetapi karena kesadaranya, beliau menguatkan
pendapat yang mengharamkan rokok, sebab menerapkan ‘illat-illat hukum dari kaidah-kaidah tasyri’ yang umum.
6. Tinjauan Kesehatan
Perhatian :
Diantara bahaya merokok yang di umumkan
Fakultas Kedokteran Britania ialah:
a. Setiap tahun 27.000 orang britania
meninggal karena merokok, dan usia mereka berkisar antara 34- 65 tahun.
b. Setiap tahun 155.000 orang Britania akan
mati karena 80 % diantaranya disebabkan serangan penyakit paru-paru.
c. 90 % kematian karena serangan penyakit
paru-paru itu di sebabkan oleh rokok.
d. Sebab-sebab terjadinya kematian pada
perokok itu antara lain mereka terserang bermacam-macam penyakit seperti
paru-paru, saluran pernafasan, jantung, penyakit-penyakit urat nadi, penyakit
tenggorokan, kanker payudara, kanker mulut, serta kanker tenggorokan dan
kerongkongan. Anak-anak yang dilahirkan oleh wanita perokok itu lebih banyak
mengalami keguguran[7].
Lancet,
sebuah majalah yang terbit di Britania menyatakan bahwa merokok itu penyakit,
bukan kebiasaan. Perilaku ini merupakan bencana yang dialami oleh kebanyakan
anggota keluarga, juga sebagai kebiasaan yang menurunkan kehormatan seseorang.
Jumlah orang yang mati disebabkan merokok itu berlipat ganda. Mereka
menyimpulkan bahwa asap rokok lebih berbahaya dari pada asap mobil. Dan dokter
memberi nasihat bahwa orang yang merokok itu tidak aman dalam menjalankan
tugasnya. [8]
7. Masalah Profesi Terkait (Kesejahteraan)
Mengenai
kekhawatiran sementara pihak bila rokok difatwakan haram akan mengakibatkan
mudharat dengan timbulnya pengangguran dan matinya lapangan pekerjaan secara
dramastis dan drastis kerena ditutupnya pabrik rokok.
Menurut
Dr. Setiawan Budi utomo, dalam Fiqh Aktual menegaskan bahwa, kekhawatiran itu
berlebihan dan terlalu pesimis. Karena kekhawatiran itu tidak bertekad
memikirkan dan mengusahakan alternatif pengganti yang lebih baik dan lebih
halal (halalan thayyiban), bukankan
Nabi saw menjanjikan bagi siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena taqwa
kepada Allah maka Dia akan menggantikan yang lebih baik untuknya.
Profesi
terkait dengan rokok yang lain seperti para pedagang, pengecer maupun pengasung
yang tidak hanya menjual rokok, demikian pula para teknisi entertainer pengusaha reklame, maupun pihak-pihak terkait lainnya
maka akan lebih selamat dan berhati-hati (ihthiyatan)
bila menghindari komoditas dan objek usaha yang haram atau minimal syubhat (meragukan ke halalanya) seperti
rokok. Allah tidak akan memberkati seseorang karena usaha yang haram atau
bercampur dengan haram. Dan harus di ingat bahwa setiap kesulitan di jalan Allah akan ada kemudahan dan jalan keluar
yang lebih baik (ath-Thalaq:2-5). Sikap demikian itu hikmahnya adalah demi
menyelamatkan generasi muda dan segenap bangsa dari kecanduan rokok, dan
kerusakan kesehatan diri dan lingkungan. Di samping menciptakan alternatif
lapangan kerja dan usaha lainya yang lebih baik. Meskipun ini harus
mengeluarkan biaya yang banyak dan melumpuhkan industri rokok dan biaya sosial
yang sangat tinggi, sebab dampak negatif yang ditimbulkan bagi kesehatan
keluarga dan bangsa jauh lebih mahal dan berharga dari pada nilai devisa
ataupun nilai material apapun.[9]
8. Sektor Pendapatan
Cepat
atau lambat fatwa haram atau larangan merokok jelas akan berdampak pada
mengurangnya jumlah pendapatan yang diperoleh Negara, daerah atau propinsi yang
berpenghasilan tembakau cukup besar, sebab rokok merupakan salah satu sumber
pendapatan Negara dan daerah yang sangat menjanjikan. Saat ini total industry
rokok yang ada di Indonesia adalah sebanyak 84,6 % industry rokok kretek, 4,1 %
industry rokok putih dan 11,3 % industry rokok lainnya. Dilihat dari
pertumbuhan secara total industry rokok rat-rat 3,2 5 pertahun. Sementara ini, mwnurut
sejumlah laporan, penerimaan Negara dari cukai rokok telah mencapi Rp 36-40
triliun pertahun, dan dua persen dari culai tersebut diberikan kepada daerah
penghasil cukai rokok atau daerah yang memiliki pabrik kokok.[10]
KESIMPULAN
Tampak oleh pemakalah
bahwa perbedaan pendapat ulama dari berbagai mazhab, sebagaiman yang telah
pemakalah kutip. Setelah tembakau di temukan dan digunakan untuk merokok secara
luas di kalangan masyarakat, bukanlah terletak pada dalil-dalil yang mereka
kemukankan, tetapi dalam penerapanya. Artinya mereka sepakat bahwa apa saja
yang menimbulkan mudharat pada badan atau akal terhukum haram, tetapi para
ulama berpeda pandangan dalam menetapkan hukum terhadap rokok. Diantara mereka ada
yang menetapakan bahwa rokok mempunyai beberapa manfaat, adapula yang
manyatakan bahwa rokok hanya menimbulkan madharat sedikit saja, sedangkan manfaatnya banyak,
dan ada juga yang menyatakan bahwa merokok itu tidak ada faedahnya sama sekali,
tetpi tidak pula menimbuklan mudharat, dan bermacam-macam pendapat lagi.
Apabila mereka secara keseluruhan menegaskan adanmya dharar pada rokok, niscaya mereka akan sepakat mengharamkannya,
tanpa perdebatan. Pemakalah katakan
disini bahwa menetapkan atau meniadakan bahaya rokok terhadap badan bukanlah tugas ulama fiqh, tetapi tugas para
dokter dan ahli kimia. Maka dalam hal ini mereka lah yang seharusnya di tanya,
karena mereka adalah ahlinya. Allah SWT berfirman:
“…maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang
lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia” (Al- Furqan: 59).
Para dokter
telah mengatakan dan menjelaskan bahaya akibat merokok terhadap badan secara
umum, juga bahaya terhadap paru-paru dan saluran pernafasan secara khusus.
Bahkan dapat pula menimbulkan kanker atau radang paru-paru sehingga menggerakkan
dunia pada tahun-tahun terakhir ini untuk meneriakkan pelarangan merokok. Perlu
pemakalah kemukakan , ketentuan para ulama yang pemakalah kutip sebelumnya
menetapkan bahwa dharar yang
datang secara bertahap sama hukumnya
denga dharar yang datang seketika,
keduanya haram, karena itu pengaruh racun rokok terhadap jantung dan paru-paru,
cepat atau lambat terhukum haram, serta tidak diragukan lagi. Maka dapat kami
simpulkan bahwa perbedaan fatwa para ulama mengenai halal dan haramnya
didasarkan pada ada dan tidaknya adanya bahaya menurut mereka.
Dengan demikian,
berdasarkan pemaparan dampak negatif yang ada, pemakalah dengan mendukung fatwa
MUI yaitu mengharamkan rokok.
DAFTAR PUSTAKA
Budi,
Setiawan utomo, Fiqh Aktual, 2003,
Jakarta : Gema Insani,
Qordhawi,
Yusuf , Fatwa-fatwa Kontemporer,
1995, Jakarta: Gema Insani
Makhluf, Hasanai, Fatawa
Syar’iyyah, juz 23 hal.
Syaltut, Mahmud, Al-Fatawa,
Al-Azhar
Yunus, Muhammad BS, Kitab Rokok “Nikmat dan Mudhrat yang menghalalkan atau
mengharamkan” , 2009, kutub
[1] Dr. Setiawan Budi utomo, Fiqh Aktual, (Jakarta : Gema insani,
2003)hal: 209
[2] Yusuf Qordhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani,
1995)h.
[3] Yusuf Qordhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Op. Cit, h.
[4] Ibid, h.
[5] Lihat, Syekh Hasanai Makhluf, Fatawa
Syar’iyyah, juz 23 hal. 112-113.
[7] Dr. Setiawan Budi utomo, Fiqh
Aktual, (Jakarta : Gema insani, 2003)hal: -13
[8] Dr. Setiawan Budi utomo, Fiqh
Aktual,)Op. Cit, hal: -213
[9] Dr. Setiawan Budi utomo, Fiqih
Aktual, Op. Cit, h.215
[10] Muhammad yunus BS, Kitab Rokok “Nikmat dan Mudhrat yang
menghalalkan atau mengharamkan” (kutub, 2009)
0 komentar:
Post a Comment