Thursday, 16 May 2013

Rokok Menurut Islam


PENDAHULUAN
Salah satu hasil konsensus Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (KF-MUI) di Padang Panjang akhir Januari 2009 lalu adalah fatwa tentang hukum haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan pengurus MUI sendiri. Pro-kontra menyelimuti fatwa controversial tersebut, terlabih daerah yang mejadi tempat tembakau berkembang biak, yang nota bene banyak petani yang menggantungkan hidupnya dari usaha tanaman tembakau serta tempat dimana perusahaan rokok berdiri. Namun dibalik pro-kontra tersebut ada fakta yang unik, ternyata sebagian para Ulama/ Kyai dalam MUI sendiri dulunya adalah pecandu berat rokok. Bahkan kopi dan rokok masih menjadi “menu utama” diberbagai pesantren di Jawa. Setiap sowan dirumah Kyai pastilah kopi dan rokok menjadi “menu utama” sang kyai. Tanpa kopi dan rokok mengaji dan belajar terasa hambar dan kurang sreg serta inspirasi berkarya terasa tumpul, inilah realitas dibalik bilik pesantren di Jawa. Walaupun tidak semua, tetapi meyoritas mengakui demikian adanya. Terkesan bahwa fatwa yang dikeluarkan merupakan keputusan Final, absolute, dan tidak menerima tafsir yang lain. Fatwa MUI terjebak dalam “penalaran eksklusif” sehingga menfikkan tafsir yang lain yang sangat mungkin enyebar diberbagai pemikiran public. Meminjam bahasa Friedman, tidak ada “praduga epistemologis” dimana MUI sebagai pemegang otoritas fatwa membagi epistemology pengetahuan tertentu kepada mereka yang mentaati sehingga terbuka dialog dan sharing yang saling memberikan kemaslahatan satu dengan yang lain.
 Topik ini relatif menjadi wacana baru, sehingga belum ada ketetapan hukum syariah dari para fuqaha klasik dalam berbagai  madhab, disamping belum sempurnanya gambaran tentang substansi masalah dan dampak berdasarkan riset kesehatan yang akurat. Maka wajar setelah itu terjadilah perbedaan pendapat dari berbagai madhab fiqih tentang masalah ini. Sebagaian berpendapat haram, sebagaian berpendapat makruh, sebagaian lagi berpendapat boleh (mubah), dan terutama para ulama yang terlanjur mengkonsumsinya dan sebagian lagi tidak memberi hukum secara mutlak, tetapi menetapkan hukum-hukum secara rinci. Bahkan sebagaian lagi dari mereka berdiam diri, tidak mau membicarakannya. Maka kami mencoba untuk mengangkat topik ini untuk menjadi kajian diskusi dalam taraf mahasiswa




A.    PENGERTIAN DAN EFEK MEROKOK
Tumbuhan yang dikenal dengan nama tembakau atau sigaret (ad-dukhan atau asy-syijar) baru dikenal pada akhir abad ke sepuluh hijriah. Semenjak masyarakat mulai mengkonsumsinya sebagai bahan isapan, hal ini mendorong para ulama pada zaman itu untuk mengangkatnya sebagai bahan kajian fiqh agar terjadi kejelasan hokum halal dan haramnya. Topik ini relatif menjadi wacana baru, sehingga belum ada ketetapan hukum syariah dari para fuqaha klasik dalam berbagai  madhab, disamping belum sempurnanya gambaran tentang substansi masalah dan dampak berdasarkan riset kesehatan yang akurat. [1]

B.     TINJAUAN DALIL TENTANG HUKUM ROKOK
1.      Pendapat yang mengharamkan rokok mengemukakan beberapa alasan sebagai berikut:
a.       Karena memabukkan
Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa rokok itu memabukkan, sedangkan tiap-tiap yang memabukkan itu hukumnya haram. Yang dimaksud dengan muskir (memabukkan) menurut mereka ialah segala sesuatu yang dapat menutup akal, meskipun hanya sebatas tidak ingat.
b.      Karena Melemahkan badan
Mereka berkata, “kalaupun merokok itu tidak sampai memabukkan, minimal perbuatan ini dapat menyebabkan tubuh menjadi lemah dan loyo”,dari ummu salamah ra: “Bahwa Rasulullah Saw, melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan”. (HR. Ahmad dan Abu Daud). Selain itu penetapan hukum haramnya rokok ini karena membahayakan berdasarkan firman Allah swt:
4. . . . Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ
Dan janganlah kamu menbunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu (an-Nisaa’:29)
c.       Menimbulkan Mudharat
Mudharat yang mereka kemukakan disini terbagi menjadi 2 macam:
1)   Dharar badani (bahaya yang mengenai badan): menjadikan badan lemah, wajah pucat, terserang batuk, bahkan dapat menimbulkan penyakit paru-paru. Dalam konteks ini tepat sekali perkataan sebagian ulama bahwa tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu yang membahayakan, baik bahaya itu datang seketika maupun bertahap. Bahkan yang bertahap inilah yang lebih sering terjadi.
2)   Dharar mali (Mudharat pada harta), yang dimaksud ialah bahwa menggunakannya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi badan dan ruh, tidak bermanfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan Nabi SAW telah melarang membuang-buang harta, Allah berfirman:
Ÿwur  . . .  öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
“…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar pada Tuhannya” (Al-Isra’: 26-27)
Salah seorang ulama berkata: Bila seseorang sudah mengakui bahwa ia tidak menemukan manfaat rokok sama sekali, maka seharusnya rokok itu diharamkan, bukan dari segi penggunaanya, tetapi dari segi pemborosan. Karena menghambur-hamburkan harta itu tidak ada bedanya, apakah dengan membuangnya ke laut atau dengan membakarnya atau dengan merusaknya
Diantara seorang ulama yang mengharamkan dan melarang rokok adalah: Syekhul Islam Ahmad As Sanhuri Al Bahuti al Hambali dan dari kalangan madhab Maliki ialah Ibrahim Al Laqqani (dari Mesir), Abul Ghaits Al Qasyasy Al Maliki (dari Maroko), Najmuddin bin Badruddin bin Mutassiril Quran dan Al ‘Arabi Al Ghazi Al ‘Amiri Asy Syafi’I (dari Damsyik), Isa Asy Syahwai Al Hanafi dan lain sebagainya.[2]
2.      Adapun golongan yang mengatakan bahwa rokok itu makruh mangemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
a.       Merokok itu tidak lepas dari dharar (bahaya), lebih-lebih jika terlalu banyak melakukannya. Sedangkan sesuatu yang sedikit itu bila diteruskan akan menjadi banyak.
b.      Mengurangkan harta, kalau tidak sampai pada tingkat tabdhzir, israf, dan menghambur-hamburkan uang, maka ia dapat mengutangkan harta yang dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi sahabatnya  dan bagi orang lain
c.       Bau asapanya mengganngu serta mentakiti orang lain yang tidak merokok. Segala sesuatu yang dapat menimbulakan hal seperti ini makruh menggunakannya, seperti halnya memakan bawang mentah, kucai dan sebagainya (baunya dapat mengganggu orang lain)
d.      Menurukan harga diri bagi orang yang mempunyai kedudukan social terpandang
e.       Dapat melalaikan seseorang untuk beribadah secara sempurnya
f.       Bagi orang yang biasa merokok, akan membuat pikirannya kacau jika suatau saat dia tidak mendapatkan rokok.
g.      Jika perokok menghadiri suatu majlis, ia akan menggangu orang lain.
Syekh Abu sahal Muhammad bin Al Wa’izh Al Hanafi berkata: “Dalil-dalil yang menunjukkan kemakruhannya ini bersifat qath’i sedangkan yang menunjukkkan keharamannya bersifat zhanni.  Kemakrukan bagi perokok disebabkan menjadikan pelakunya hina dans sombiong , memutuskan hak dank eras kepala. Selain itu , sefgala sesuiatu yang baunya menggangu orang lauin adalah makruh, sama halnya dengan memakan bawang. Maka asap rokok yamhg memiliki damopak negative ini lebih utang untuk dilatramng, dan perokokonya lebih layak dilarang masuk masjid serta menghadiru pertemuan-pertemuan.”
3.      Golongan yang memperbolehkan merokok ini berpegang pada kaidah bahwa asal segala sesuatu itu boleh, sedangkan anggapan bahwa rokok itu memabukkan atau menjadikan lemah itu tidak benar. Iskar (memabukkan), menurut mereka, berarti hilangnya akal disertai keadaan yang lemah atau loyo. Sedangkan kedua hal ini tidak terjadi pada orang yang merokok. Memang benar bahwa orang yang tidak biasa merokok akan merasakan mual bila pertama kali melakukannya , tetapi hal ini tidak menjadikan haram, jika orang mengganggap merokok sebagai sebagai perbuatan israf, maka hal ini tidak hanya terdapat pada rokok. Inilah pendapat Al’ Alamah Syekh Abdul Ghani An Nabilisi.
Syekh Musthafa As Suyuti Ar Rabbani , pensyarah kitab Ghayatul Muntaha Fi Fiqhil Hanabillah berkata: “Setiap orang yang mengerti dan ahli tahqiq, yang mengerti tentang pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, yang mau bersikap objektif, apabila sekarang ditanya tentang hukum merokok—setelah rokok dikenal banyak orang serta banyaknya anggapan yang menyataan bahwa rokok dapat membahayakan akal dan badan –niscaya ia akan membolehkannya. Sebab asal segala sesuatu yang tidak membahayakan dan tidak ada nash yang mengharamkannya adalah halal dan mubah, sehingga ada dalil syara’, yang mengharamkannya. Para muhaqqiq yang telah sepakat berhukum kepada akal dan pendapat tanpa sandaran syara’ adalah batal”. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh syekh Mustafa yang didasarkan pada kenyataan yang terjadi pada zaman beliau.[3]

4.      Adapun golongan yang mengemukakan pendapatnya secara rinci mengatakan bahwa sesungguhnya tumbuhan ini (tembakau) pada dasarnya adalah suci, tidak memabukkan, tidak membahayakan, dan tidak kotor, Jadi pada dasarnya  asalnya adalah mubah, kemudian berlaku padanya hukum-hukum syariat seperti berikut:
a.       Barang siapa yang menggunakanya tetapi tidak , menimbulkan mudharat pada badan atau akalnya, maka hukumnya adalah jaiz (boleh).
b.      Barang siapa yang apabila menggunakanya menimbulkan mudharat, maka hukumnya haram, seperti orang yang mendapatkan mudharat bila menggunakan madu.
c.       Barang siapa yang memanfaatkanya untuk menolak mudharat, semisal penyakit, maka wajib menggunakannya.
Jadi hukuk-hukum ini ditetapkan bersadasarkan sesuatu yang akan ditimbulkannya , sedangkan pada asalnya adalah mubah, sebagaimana yang kita ketahui.[4]

5.      Pendapat Ulama Mutaakhirin
Apabila kita pejamkan mata kita dari pendapat para ulama terdahulu dan kita lihat pendapat ulama-ulama sekarang, maka akan kita dapati bahwa mereka juga berbeda pendapat menggenai hukum masalah ini.
Misalnya syekh Hasanain Makhluf, Mufti Mesir, yang menginventarisasi pendapat sebagaian ulama sebelumnya, berpendapat bahwa hukum asal rokok adalah mubah. Beliau juga mengatakan bahwa keharaman dan kemakruhannya apabila timbul faktor-faktor lain, seperti jika menimbullkan mudharat baik banyak atau sedikit terhadap jiwa maupun terhadap harta atau kedua-duanya, atau karena mendatangkan mafsadat dan mengabaikan hak seperti mengabaikan hak istri dan hak anak-anaknya atau orang yang nafkahnya menjadi tanggunganya menurut syarak. Apabila terdapat unsur-unsur seperti ini maka hukumnya menjadi makruh dan haram. Sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya. Sebaliknya jika tidak terdapat dampak negative seperti itu , maka hukumnya halal.[5]
Pendapat dari Al Maghfur Syekhul Akbar Mahmud Syaltut, Rektor Al-Azhar, didalam kitab beliau: “Kalaupun tembakau tidak menjadikan mabuk dan tidak merusak akal, tetapi masih menimbulkan mudharat ytang dapat dirasakan pengaruhnya pada kesehatan orang yang merokok dan yang tidak merokok. Para dokter telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang ada didalamnya diketahui mengandung racun, mesklipun lambat yang akan dapat merampas kebahagiaan dan ketenangan hidup manusia karena itu tidak diragukan lagi bahwa tembakau (merokok) dapat menimbulkan gangguan dan mudharat, sedangkan hal ini merupakan sesuatu yang buruk dan terlarang menurut pandangan Islam.
Disisi lain jika kita perhatikan pengeluaran belanja untuk rokok ini ternyata lebih banyak, padahal anggaran tersebut dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat. Maka dari sudut pandang ini merokok jelas-jelas dilarang dan tidak diperbolehkan oleh syara”. Melihat dampak merokok yang buruk bagi kesehatan dan keuangan tahulah kita bahwa hal ini termasuk perbuatan yang dibenci oleh syarak. Perlu juga di ingatkan bahwa dalam menetapkan atau makruhnya suatu perkara , hukum Islam tidak hanya bersandar pada adanya nash yang khusus menjelaskan masalah yang bersanggkutan. Berbagai illat hukum dan kaidah-kaidah syariyyah yang umum mempunyai peranan penting dalam menetapkan hukum, dan dengan kaidah serta illat tersebut Islam memiliki keleluasaaan untuk menetapkan hukum segala sesuatu yang di munculkan oleh manusia, apakah hal itu halal atau haram. Caranya adalah dengan mengetahui kekhususan-kekhususan dan dampaknya yang dominan terhadap sesuatu, apabila menimbulkan dharar terlaranglah hal itu, jika menimbulkan manfaat saja, atau biasanya bermanfaat, maka hukumnya mubah, dan jika manfaat serta mudharatnya sama, maka menjaga itu lebih baik dari pada mengobati”.[6]
Perlu kami kemukakan disini bahwa syekh Mahmud Syaltut rahimahullah terkena cobaan berupa kebiasaan merokok yang dilakukan sejak muda sehingga beliau tidak dapat membebaskan diri dari padanya. Tetapi karena kesadaranya, beliau menguatkan pendapat yang mengharamkan rokok, sebab menerapkan ‘illat-illat hukum dari kaidah-kaidah tasyri’ yang umum.




6.      Tinjauan Kesehatan
Perhatian :
Diantara bahaya merokok yang di umumkan Fakultas Kedokteran Britania ialah:
a.    Setiap tahun 27.000 orang britania meninggal karena merokok, dan usia mereka berkisar antara 34- 65 tahun.
b.    Setiap tahun 155.000 orang Britania akan mati karena 80 % diantaranya disebabkan serangan penyakit paru-paru.
c.    90 % kematian karena serangan penyakit paru-paru itu di sebabkan oleh rokok.
d.   Sebab-sebab terjadinya kematian pada perokok itu antara lain mereka terserang bermacam-macam penyakit seperti paru-paru, saluran pernafasan, jantung, penyakit-penyakit urat nadi, penyakit tenggorokan, kanker payudara, kanker mulut, serta kanker tenggorokan dan kerongkongan. Anak-anak yang dilahirkan oleh wanita perokok itu lebih banyak mengalami keguguran[7].
Lancet, sebuah majalah yang terbit di Britania menyatakan bahwa merokok itu penyakit, bukan kebiasaan. Perilaku ini merupakan bencana yang dialami oleh kebanyakan anggota keluarga, juga sebagai kebiasaan yang menurunkan kehormatan seseorang. Jumlah orang yang mati disebabkan merokok itu berlipat ganda. Mereka menyimpulkan bahwa asap rokok lebih berbahaya dari pada asap mobil. Dan dokter memberi nasihat bahwa orang yang merokok itu tidak aman dalam menjalankan tugasnya. [8]

7.      Masalah Profesi Terkait (Kesejahteraan)
Mengenai kekhawatiran sementara pihak bila rokok difatwakan haram akan mengakibatkan mudharat dengan timbulnya pengangguran dan matinya lapangan pekerjaan secara dramastis dan drastis kerena ditutupnya pabrik rokok.
Menurut Dr. Setiawan Budi utomo, dalam Fiqh Aktual menegaskan bahwa, kekhawatiran itu berlebihan dan terlalu pesimis. Karena kekhawatiran itu tidak bertekad memikirkan dan mengusahakan alternatif pengganti yang lebih baik dan lebih halal (halalan thayyiban), bukankan Nabi saw menjanjikan bagi siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena taqwa kepada Allah maka Dia akan menggantikan yang lebih baik untuknya.
Profesi terkait dengan rokok yang lain seperti para pedagang, pengecer maupun pengasung yang tidak hanya menjual rokok, demikian pula para teknisi entertainer pengusaha reklame, maupun pihak-pihak terkait lainnya maka akan lebih selamat dan berhati-hati (ihthiyatan) bila menghindari komoditas dan objek usaha yang haram atau minimal syubhat (meragukan ke halalanya) seperti rokok. Allah tidak akan memberkati seseorang karena usaha yang haram atau bercampur dengan haram. Dan harus di ingat bahwa setiap kesulitan di jalan Allah akan ada kemudahan dan jalan keluar yang lebih baik (ath-Thalaq:2-5). Sikap demikian itu hikmahnya adalah demi menyelamatkan generasi muda dan segenap bangsa dari kecanduan rokok, dan kerusakan kesehatan diri dan lingkungan. Di samping menciptakan alternatif lapangan kerja dan usaha lainya yang lebih baik. Meskipun ini harus mengeluarkan biaya yang banyak dan melumpuhkan industri rokok dan biaya sosial yang sangat tinggi, sebab dampak negatif yang ditimbulkan bagi kesehatan keluarga dan bangsa jauh lebih mahal dan berharga dari pada nilai devisa ataupun nilai material apapun.[9]

8.      Sektor Pendapatan
Cepat atau lambat fatwa haram atau larangan merokok jelas akan berdampak pada mengurangnya jumlah pendapatan yang diperoleh Negara, daerah atau propinsi yang berpenghasilan tembakau cukup besar, sebab rokok merupakan salah satu sumber pendapatan Negara dan daerah yang sangat menjanjikan. Saat ini total industry rokok yang ada di Indonesia adalah sebanyak 84,6 % industry rokok kretek, 4,1 % industry rokok putih dan 11,3 % industry rokok lainnya. Dilihat dari pertumbuhan secara total industry rokok rat-rat 3,2 5 pertahun. Sementara ini, mwnurut sejumlah laporan, penerimaan Negara dari cukai rokok telah mencapi Rp 36-40 triliun pertahun, dan dua persen dari culai tersebut diberikan kepada daerah penghasil cukai rokok atau daerah yang memiliki pabrik kokok.[10]





KESIMPULAN
Tampak oleh pemakalah bahwa perbedaan pendapat ulama dari berbagai mazhab, sebagaiman yang telah pemakalah kutip. Setelah tembakau di temukan dan digunakan untuk merokok secara luas di kalangan masyarakat, bukanlah terletak pada dalil-dalil yang mereka kemukankan, tetapi dalam penerapanya. Artinya mereka sepakat bahwa apa saja yang menimbulkan mudharat pada badan atau akal terhukum haram, tetapi para ulama berpeda pandangan dalam menetapkan hukum terhadap rokok. Diantara mereka ada yang menetapakan bahwa rokok mempunyai beberapa manfaat, adapula yang manyatakan bahwa rokok hanya menimbulkan madharat  sedikit saja, sedangkan manfaatnya banyak, dan ada juga yang menyatakan bahwa merokok itu tidak ada faedahnya sama sekali, tetpi tidak pula menimbuklan mudharat, dan bermacam-macam pendapat lagi. Apabila mereka secara keseluruhan menegaskan adanmya dharar pada rokok, niscaya mereka akan sepakat mengharamkannya, tanpa perdebatan.  Pemakalah katakan disini bahwa menetapkan atau meniadakan bahaya rokok terhadap badan  bukanlah tugas ulama fiqh, tetapi tugas para dokter dan ahli kimia. Maka dalam hal ini mereka lah yang seharusnya di tanya, karena mereka adalah ahlinya. Allah SWT berfirman:
 “…maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia” (Al- Furqan: 59).
Para dokter telah mengatakan dan menjelaskan bahaya akibat merokok terhadap badan secara umum, juga bahaya terhadap paru-paru dan saluran pernafasan secara khusus. Bahkan dapat pula menimbulkan kanker atau radang paru-paru sehingga menggerakkan dunia pada tahun-tahun terakhir ini untuk meneriakkan pelarangan merokok. Perlu pemakalah kemukakan , ketentuan para ulama yang pemakalah kutip sebelumnya menetapkan bahwa dharar yang datang  secara bertahap sama hukumnya denga dharar yang datang seketika, keduanya haram, karena itu pengaruh racun rokok terhadap jantung dan paru-paru, cepat atau lambat terhukum haram, serta tidak diragukan lagi. Maka dapat kami simpulkan bahwa perbedaan fatwa para ulama mengenai halal dan haramnya didasarkan pada ada dan tidaknya adanya bahaya menurut mereka.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan dampak negatif yang ada, pemakalah dengan mendukung fatwa MUI yaitu mengharamkan rokok.



DAFTAR PUSTAKA

Budi, Setiawan utomo, Fiqh Aktual, 2003, Jakarta : Gema Insani,
Qordhawi, Yusuf , Fatwa-fatwa Kontemporer, 1995, Jakarta: Gema Insani
Makhluf,  Hasanai, Fatawa Syar’iyyah, juz 23 hal.
Syaltut,  Mahmud, Al-Fatawa, Al-Azhar
Yunus,  Muhammad BS, Kitab Rokok “Nikmat dan Mudhrat yang menghalalkan atau mengharamkan” , 2009, kutub


[1] Dr. Setiawan Budi utomo, Fiqh Aktual, (Jakarta : Gema insani, 2003)hal: 209
[2] Yusuf Qordhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 1995)h.
[3] Yusuf Qordhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Op. Cit, h.
[4] Ibid, h.
[5] Lihat, Syekh Hasanai Makhluf, Fatawa Syar’iyyah, juz 23 hal. 112-113.
[6] Syekh Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Al-Azhar, hlm. 354
[7] Dr. Setiawan Budi utomo, Fiqh Aktual, (Jakarta : Gema insani, 2003)hal: -13
[8] Dr. Setiawan Budi utomo, Fiqh Aktual,)Op. Cit, hal: -213
[9] Dr. Setiawan Budi utomo, Fiqih Aktual, Op. Cit, h.215
[10] Muhammad yunus BS, Kitab Rokok “Nikmat dan Mudhrat yang menghalalkan atau mengharamkan” (kutub, 2009)

0 komentar:

Post a Comment