BAB I
PENDAHULUAN
Nafas keislaman dalam pribadi seorang
muslim merupakan alat vital yang menggerakkan perilaku yang diperkokoh dengan
ilmu pengetahuan yang luas, sehingga ia mampu memberikan jawaban yang tepat guna
terhadap tantangan perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh
karena itu pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang berubah-ubah menurut
waktu yang berbeda-beda. Ia bersikap lentur terhadap perkembangan kebutuhan
umat manusia dari waktu ke waktu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Islam
Istilah pendidikan Islam dipergunakan
dalam 2 hal, yaitu:
1.
Segenap
kegiatan yang dilakukan seseorang/lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam
dalam diri sejumlah siswa.
2.
Keseluruhan
lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas
pandangan dan nilai-nilai Islam.[1]
Dalam konteks istilah “pendidikan”
masuk dalam kategori nilai, dan istilah “pengajaran” masuk dalam kategori
rekayasa manusia yang secara terus-menerus dimutakhirkan untuk mencari
nilai-nilai luhur.[2]
Salah satu pandangan modern dari
seorang ilmuwan muslim hasil pendidikan Islam Dr. Muhammad S. A Ibrahimy
mengungkapkan pengertian pendidikan Islam yang berjangkauan luas, sbb:
“Islamic education in the true
sense of the term, is a system of education which enacles a man to kad his hide
according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in
accordance with tenets of islam, and this peace and prosperity may prevail in
his own life as well in the whole word this Islamic scheme of education is of
necessity and embracing system, for islam encompasses the entire gamut of
muslim’s life. It can justly be said that all brantes of karming which one not
Islamic are included in the Islamic education. The scope of Islamic education
has been changing at different times. In view of the demands of the age and the
development of science and technology, its scope has also videned”.[3]
Dengan demikian, apa yang kita kenal
dengan pendidikan Agama Islam di negeri kita, merupakan bagian dari pendidikan
Islam, dimana tujuan utamanya adalah membina dan mendasari kehidupan anak didik
dengan nilai-nilai agama dan sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam. Sehingga
ia mampu mengamalkan syariat Islam secara benar sesuai pengetahuan Agama.[4]
B.
Sistem
Pendekatan dan Orientasi
Orientasi sistem pendidikan Islam
Indonesia telah mengalami perubahan dan perkembangan terus-menerus.[5]
Orientasi pendidikan Islam dalam
zaman teknologi masa kini dan masa depan perlu diubah pula. Yang semula
berorientasi kepada kehidupan ukhrawi menjadi duniawi ukhrawi bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu
rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program pembelajarannya harus
lebih diproyeksikan ke masa depan pada masa kini atau masa lampau.[6] IPTEK, pemikiran,
keterbukaan dan antisipasi ke depan semakin menguat. Hal ini karena disebabkan
oleh semakin berkembangnya pandangan teologi yang vitalitas dan rasional.
Meskipun demikian, masih terasa adanya dua orientasi yang berjalan secara
beriringan antara orientasi sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional belum terdapat integrasi
yang tuntas. Secara filosofi dan akademis masih terasa adanya ganjalan dikotomi
antara ilmu agama dan umum.[7]
Di tengah gelombang krisis
nilai-nilai kultural
berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan sosial, pendekatan
pendidikan Islam yang memandang bahwa keberadaan Islam yang mutlak pasti mampu
mengalahkan kebatilah yang merajalela di luar kehidupan Islam lebih-lebih dalam
menghadapi pergesaran nilai-nilai kultural yang transisional dari dunia kehidupan, yang belum menemukan
pemukiman yang mapan, maka pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan
pendekatan dan orientasi baru yang releven dengan tuntutan zaman justru karena
pendidikan Islam membawakan prinsip dan nilai-nilai absolutisme yang bersifat
mengarahkan tren perusahaan sosiokultural itu.[8]
C.
Penyelenggaraan
Pendidikan Islam Indonesia
Secara sosiologis dan dalam sketsa
pasar, sistem
pendidikan Islam di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Strategi
Seiring
dengan proses perkembangan orientasi tadi, strategi pendidikan Islam Indonesia
pada masa awalnya juga teralinasi dan konfrontasi dengan pemerintah kolonial. Begitu keras
konfrontasi mereka, sampai-sampai celana dan dasi pun diharamkan. Bahkan cara-cara
belajar dengan duduk di kursi juga haram. Hal itu dianggap sebagai kebiasaan
kaum kafir, kini keadaannya telah berubah nyaris total.
2.
Sumber
Belajar
Sumber
belajar sistem
Pendidikan Islam Indonesia harus berubah dan berkembang semakin beragam dan
intensif. Tidak hanya jumlahnya, tetapi juga kualitasnya. Kalau dulu santri
hanya menerima materi dari sumber tunggal yakni kyai, tetapi kini, menerima
materi dari banyak sumber. Mereka dapat belajar dari siapa saja dengan bahasa
yang mereka kuasai.
3.
Metodologi
Belajar
Metodologi
belajar yang berlaku saat ini tampak masih “klasik”. Dalam arti, mewariskan
sejumlah materi ajaran agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada anak
didik tanpa memberikan kesempatan kepadanya agar disikapi secara kritis. Kini
keadaannya berubah, kelompok-kelompok diskusi telah berkembang dimana-mana,
pelajar terutama mahasiswa, telah menampilkan pertanyaan-pertanyaan yang sering
kali mengejutkan dan membuka rahasia yang sebelumnya tidak diduga sebagai suatu
masalah.
4.
Kondisi
Kelembagaan
Kelembagaan
sistem
pendidikan Islam di Indonesia juga teralienasi dan tidak jelas bedanya dengan
pranata-pranata sosial yang lain. Seluruh kelembagaannya bersifat nonformal dan milik
pribadi, tidak professional dan bukan menjadi milik institusi.
5.
Prestasi
Seiring
dengan komponen-komponen diatas dan kondisi sosial budaya pendukungnya prestasi sistem pendidikan Islam
Indonesia pada awalnya lebih terfokus kepada pertahanan mental spiritual dan
ritual keagamaan. Kini prestasi sistem pendidikan di Indonesia semakin menguat terutama di sisi
keilmuan atau pemikiran. Tentu saja fenomena tersebut semakin memperkokoh
domain efektif keagamaan untuk mendampingi pengalaman dan pengembangan IPTEK.
6.
Kondisi
Sosial Budaya Rumah
Pada
awalnya kondisi sosial umat masih amat bercorak fikih, sufistik, sinkritis dan
primordial. Kini, secara keseluruhan kondisi sosial budaya umat telah berubah dari tradisional menuju rasional.[9]
D.
Permasalahan
Pendidikan Islam Saat Ini
Terkait dengan ketertinggalan
pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin dikarenakan oleh terjadinya penyempitan
terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan
ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi atau aspek kehidupan rohani yang
terpisah dengan kehidupan jasmani.[10]
Permasalahan mencuat ketika umat
Islam berusaha mengejar ketertinggalan dalam bidang IPTEK namun mau
menghindari cara kerja epistemiknya yang dinilai tidak “islami” (produk barat)
untuk diganti dengan cara kerja epistemik yang islami (qur’ani). Pemikiran semacam inilah yang
pada dasarnya memunculkan ambiguitas. Dalam konteks ini, pendidikan Islam masih
di dominasi oleh knowing daripada doing. Ini bisa dilihat dari
praktek-praktek pendidikan, lebih khusus lagi metode pengajarannya yang ada di
berbagai institusi-institusi pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah.
Proses belajar mengajar yang ada masih mengedepankan penguasaan pengetahuan di bawah otoritas
guru daripada belajar melalui murid mengembangkan dari aktifitasnya sendiri di
bawah bimbingan sendiri. Metode belajar semacam ceramah, hafalan bandongan
sorogan, dalam prakteknya masih dikendalikan oleh otoritas kyai atau guru
walaupun memang aktif namun dia tidak bisa menentukan kitab yang dipelajarinya.[11]
Adanya sistem dikotomik inilah yang
menurut Abdurrohman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam.
Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antara akal dan wahyu. Kondisi
sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa satu
sisi umat Islam berada pada romantisme historis dimana mereka bangga karena
pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuan-ilmuan besar dan mempunyai
kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan
dunia serta menjadi transmisi bagi hasanah Yunani, namun di sisi lain
mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya
dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern.
Terjadinya penilaian-penilaian antara
ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan
dan kemunduran peradaban, lantaran ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada
di luar ilmu (dalam hal ini sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan
ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memedulikan agama. Begitulah gambaran
praktek kependidikan dan aktifitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan
berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Dari berbagai persoalan pendidikan
Islam di atas dapat ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau filosofis yang
kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis.
Kedua,
persoalan konseptual-teoritis ini sitandai dengan adanya paradigma dikotomi
dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta
dunia dan akhirat.
Ketiga,
kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta
didik jauh dari lingkungan sosial-kultural mereka. Pada saat, mereka lulus dari lembaga pendidikan
Islam mereka akan mengalami sosial-shock.
Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya sepotong-sepotong, tidak
integral dan komprehensif.[12]
E.
Solusi
dan Peluang Problematika Pendidikan Islam pada Saat Ini
Bagaimanapun sistem pendidikan Islam di
Indonesia memiliki peluang-peluang yang amat besar dalam menghadapi
masalah-masalah tersebut:
1.
Sistem pendidikan Islam
Indonesia tidak menghadapi dominisi sistem pendidikan nasional, karena ajaran Islam
secara filosofi tidak pernah bertentangan dengan pandangan hidup bangsa.
2.
Pancasila
sebagai azaz tunggal secara filosofi merupakan bagian dari filsafat Islam.
3.
Dalam
keadaan jauh yang lebih stabil baik fisik, hukum, keamanan dan ekonomi adalah suatu kesempatan
yang amat tepat bagi kelompok mayoritas untuk mengisinya.
4.
Semakin
berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam.[13] Disamping banyak peluang
juga ada solusi untuk mengatasi problematika pendidikan Islam pada saat ini.
Konsep dualisme-dikotomi pendidikan
harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan
filosofis-paradikmatik, maupun teknik departementel. Pemikiran filosofis
menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memberikan suatu
pandangan dunia yang menjadi landasan idelogis dan moral bagi pendidikan.
Pemisahan antar ilmu dan agama
hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduanya dalam
satu sistem
pendidikan integralistik. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan
perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan”
yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara “empiris
prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio
dan cultural) Filsafat integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian dari filsafat Islam
yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era post-modern di kalangan masyarakat barat.
Bagi Armahedi, pendidikan Islam
haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya,
manusia-manusia saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern yang
mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang partial.
Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan
arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan
seimbang. Hanya ada beberapa sisi saja dari kehidupan manusia yang dikembangkan, begitu
juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada
saat itu.
Masyarakat saat ini adalah masyarakat
materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang
bernama teknostruktur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme.
Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan seluruh aspek dari
manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu tauhid.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Dengan demikian adanya, agar tidak selalu berada di
belakang kemajuan IPTEK, maka kita harus memutas kembali orientasi pendidikan
Islam dari model knowing yang
cenderung pasif ke arah doing yang menjanjikan keaktifan dan penguasaan
teknologi juga dari orientasi pengetahuan rasional ke pengetahuan indrawi.
Minimal kalau reformasi semacam ini sudah diterapkan, bisa dengan jalan
meminimalkan manipulasi guru atas murid dan pengembangan murid melalui
aktifitasnya dioptimalkan, dengan pertimbangan bagaimanapun juga murid itu
memerlukan bimbingan.
DAFTAR PUSTAKA
Mastuhu, M. Ed. Memberdayakan Sistem Pendidikan
Islam. Jakarta : Logos. 1995
Arifin, M. Ed. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan
Umum. Jakarta : Bumi Aksara. 1995
Assegaf, Abdul Rahman. Pendidikan Islam di
Indonesia. Yogyakarta : Suka Press. 2007
[2] Mastuhu, M. Ed, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, cet.
1, (Jakarta:Logos, 1999), hal. 31
[3] Arifin, M. Ed, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, cet.
3, (Jakarta:Bumi Aksara, 1995), hal. 3-4
[4] Ibid, hal. 5
[5] Mastuhu, op.cit, hal. 31
[6] Arifin, op.cit, hal. 6
[7] Ibid, hal. 5
[8] Ibid, hal. 5
[9] Mastuhu, op.cit, hal. 33-36
[11] Abdul Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, cet 1, (Yogyakarta:Suka
Press, 2007), hal. 35-38
[13] Mastuhu, op.cit, hal. 41
I would like to thank you for this site! Thanks for sharing. Great site!
ReplyDelete