Thursday 16 May 2013

Pengaruh Globalisasi Budaya Barat Terhadap Moralitas bangsa


PENDAHULUAN

Perkembangan zaman globalisasi sekarang ini amatlah pesatnya sehingga membuat kita sering takjub dengan segala penemuan-penemuan baru di segala bidang. Penemuan-penemuan baru yang lebih banyak didominasi oleh negara-negara barat tersebut dapat kita simak dan saksikan melalui layar televisi, koran, internet dan sebagai yang sering membuat kita geleng-geleng kepala sebagai orang Indonesia yang hanya bisa menikmati dan memakai penemuan orang-orang Barat tersebut. Penemuan-penemuan baru tersebut merupakan sisi positif yang dapat kita ambil dari negara-negara Barat itu sedngkan di negara-negara Barat itu sendiri makin maju dan modern diiringi pula dengan bebasnya mereka dalam bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi suatu kebiasaan yang membudaya.
Kebiasaan-kebiasaan orang Barat yang telah membudaya tersebut hampir dapat kita saksikan setiap hari. Melalui media elektronik dan cetak yang celakanya kebudayaan orang-orang Barat tersebut yang difatnya negatif dan cenderung merusak serta melanggar norma-norma ketimuran kita sehingga ditonton dan ditiru oleh orang-orang kita terutama para remaja yang menginginkan kebebasan seperti orang-orang Barat. Kebudayaan-kebudayaan Barat tersebut dapat kita mulai dari pakaian dan mode, musik, film, sampai pada pergaulan dengan lawan jenis.[1]


BAB II
PEMBAHASAN
PENGARUH GLOBALISASI BUDAYA BARAT TERHADAP
MORALITAS BANGSA

A.    RUNTUHNYA KEBUDAYAAN KARENA TEKNOLOGI
Globalisasi yang dtandai dengan pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi, telah membuat dunia menjadi semakin kecil dan semakin terkoneksi, yang mengakibatkan meningkatnya interaksi antar individu, kelompok dari berbagai penjuru dunia. Dengan demikian interaksi yang telah berlangsung tidak terlepas dari pertukaran berbagai informasi antara individu, kelompok yang melintasi batas negara, sehingga tidak menutup kemungkinan perubahan di beberapa aspek kehidupan terjadi. Perkembangan barang-barang seperti telefon, televisi, dan internet, menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi sedemikian cepat. Sementara melalui masa semacam turisme memungkinkan kita merasakan hal dari budaya yang berbeda.
Dunia barat yang begiru gencar mendorong arus globalisasi yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi. Mempunyai pengaruh besar terhadap budaya lokal karena globalisasi tidak hanya berbicara mengenai interaksi dalam bidang ekonomi yang dilakukan dengan cara perdagangan bebas akan tetapi globalisasi juga merupakan persebaran nilai yang merupakan bagian dari budaya.
Budaya barat yang identik dengan kebebasan serta budaya yang lainnya yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya persaingan budaya, antara budaya lokal (Indonesia) dan budaya barat. Perseteruan atau persaingan ini akan selalu ditandai kekalahan dan kemenangan, zero sum game. Dalam hal ini bisa kita prediksi satu kebudayaan lokal yang tidak didukung oleh alat sebagai sebuah kekuatan dengan kebudayaan (barat) yang didukung oleh berbagai sarana atau alat sebagai kekuatan, maka adalah sesuatu yang tentu jelas bahwa kebudayaan lokal akan mengalami kekalahan. Budaya lokal sudah tidak mampu lagi membendung/merubah kerangka pemikiran masyarakat Indonesia yang akhirnya juga berimplikasi pada sikap, perilaku. Artinya masyarakat akan selalu berupaya meniru, dan mendapatkan ciri-ciri, karakteristik yang dimiliki oleh orang barat. Dengan alasan Hak Asasi Manusia, banyak muncul gaya hidup dan budaya ala barat yang jauh menyimpang dari budaya ketimuran. Salah satunya adalah munculnya hedonisme. Hedonisme merupakan hasil yang ditelorkan oleh budaya liberal. Yang beranggapan bahwa tujuan hidup untuk mencari kesenangan dan kenikmatan materi. Asumsi ini didasarkan pada sebuah pandangan bahwa hidup hanya terjadi satu kali. Oleh karena itu, pemanfaatan atas hidup ini perlu dimaksimalkan.
Kemajuan teknologi telah menyebabkan terjadinya bentuk komunikasi dengan mudah misalnya dengan telepon, televisi, internet, dan radio. Kemajuan teknologi di bidang informasi ini tentunya mendatangkan banyak efek bawaan. Pertukaran informasi yang berlangsung dengan sangat cepat dan mudah telah membawa kita pada suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan liberal yang diwadahi oleh globalisasi. Seperti halnya hedonisme. Hedonisme sebagai nilai baru yang bukan sekedar berasal dari barat, tepatnya berasal dari gaya hidup masyarakat industri modern yang lebih berwatak liberal. Adalah sebuah produk kebudayaan yang kini merambah ke dalam kehidupan masyarakat dunia ketiga, yang secara struktural masih sangat labil di satu sisi dan di sisi lain secara  kultural masih cenderung konservatif (teguh memegang nilai-nilai tradisi lokal). Hedonisme bagi masyarakat industri modern adalah sebuah keniscayaan, namun bagi masyarakat tradisional budaya ini merupakan ancaman yang ditafsirkan akan selalu membawa petaka.[2]

B.     PENGARUH BUDAYA BARAT TERHADAP MORALITAS REMAJA
Pada dasarnya banyak sekali para remaja kita yang mengikuti budaya-budya barat, mulai dari pakaian dan mode, musik, film, sampai pada pergaulan lawan jenis.
Pakaian dan mode seperti model pakaian “U can See” yang diterapkan oleh orang barat ditiru oleh kaum remaja kit ateurtama oleh kaum perempuan yang merasa bangga dengan pakaiannya sehingga tidak menutup auratya. Dalam musik, memang industri musik di negara kita berkiblat pada industri musik di negara barat karena kepandaian mereka dalam menemukan dan mencampurkan berbagai jenis musik baru dan sering berinovasi yang menjadi trend seperti rock alternative yang sekarang bisa mereka kembangkan menjadi sesuatu yang lebih baru. Namun ada juga jenis musik yang cenderung aneh dan merusak seperti jenis musik Underground, Punk dan Balck Metal yang cenderung brutal dan menyeramkan. Jenis musik Underground sekarang ini di Padang sudah mulai menggejala di mana sering diadakannya konser-konser “Sound of Death” dan “Padang Bawah Tanah” yang menampilkan musik dan nama-nama Group aneh dan menyeramkan seperti Cindaku, mayat, Roh, pelet dan lain-lain. Penampilan mereka pun punya ciri khas tersendiri seperti celana hitam dan baju kaos hitam yang dihiasi dengan gambar-gambar menyeramkan serta rambut panjang yang dicat warna kuning ditambah anting-anting di hidung dan telinga plus dengan sepatu tinggi hitam. Musik yang mereka mainkan pun sangat sulit dimengerti dan diiringi dengan tari-tarian yang menyeramkan sehingga sering disebut “Musik Setan”. Pernah seorang kawan penulis yang menganut msuik UnderGround memakai baju kaos hitam bertuliskan “Live for Setan” dengan gambar setan merah bertanduk namun ia bangga memakainya karena mencerminkan kebebasan dan kemoderenan. Kalau budaya begini sampai merebak maka dikhawatirkan para remaja bukan lagi menyembah Tuhan melainkan menyembah setan yang sebetulnya menjadi musuh manusia. Begitu juga dengan musik Punk dan BlackMetal yang juga “Satanic” (berbau setan). Dalam majalah “HAI” edisi baru-baru ini penulsi baca tentang “SlipKnot” di New York yang konsernya dihiasi dengan layar merah darah digambari pentagram dengan kepala kambing yang dikenal sebagai simbol “Pemuja setan”. Sewaktu konser mereka kerap mengucapkan kata-kata umpatan yang kotor. Kalau budaya barat begitu yang ditiru, maka remaja kita nantinya diasumsikan akan mengalami anomi dalam dirinya sebagai generasi penerus bangsa.
Film: film-film Holywood yang sering mengumbar kekerasan dan adegan yang sering menjadi totonan bagi kaum remaja kita serba mereka terpengaruh dan ikut menirunya padahal yang seperti itu tidak sesuai dengan budaya Timur kita yang masih kuat norma-norma keagamaannya. Pergaulan: dalam hal pergaulan pun budaya barat cenderung merusak sepeti pergaulan dalam suatu genk yang diwarnai dengan pemakaian obat-obatan terlarang, begitu juga dengan pergaulan dengan lawan jenis yang lebih bebas lagi seperti begitu berkenalan langsung jatuh cinta dan akhirnya diakhiri dengan berkencan sehingga timbul budaya kumpul kebo.
Bagi bangsa barat budaya hedonisme merupakan suatu kewajaran bagi manusia karena setiap manusia pasti selalu mendambakan kesenangan dan yang sering menjadi dasar bagi pandangan ini adalah HAM. Pada dasarnya hedonisme merupakan budaya barat yang ditandai dengan kebebasan dalam rangka untuk mencapai kebahagian/happiness, seperti halnya pergaulan bebas, berpakaian bebas, clubbing yang sering ditandai dengan obat-obatan terlarang dan minum-minum keras dan implikasinya sangat besar terhadap moralitas bangsa. Dan begitu juga dengan Valentine’s Day yang merupakan sebuah kebohongan belaka dari hari kasih sayang karena momen ini selalu diwarnai oleh dekonstruksi keperawanan, (kesucian bukanlah sesuatu yang utama). Beberapa catatan di bawah ini yang menimpa remaja kita.
Di tengah berita siswa-siswi berprestasi dalam ajang penelitian, olimpiade sains, seni dan olahraga, anak muda Indonesia saat ini terancam dalam masa chaos. Jutaan remaja kita menjadi korban perusahaan nikotin-rokok. Lebih dari 2 juta remaja Indonesia ketagihan narkoba (BNN 2004) dan lebih dari 8000 remaja terdiagnosis pengidap AIDS (Depkes 2008). Di samping itu, moral anak-anak dalam hubungan seksual telah memasuki tahap yang menghawatirkan. Lebih dari 60% remaja SMP dan SMA Indonesia, sudah tidak perawan lagi. Perilaku hidup bebas telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak, bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa: sebanyak 93,7 ana SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks. Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan. Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan. Sebanyak 97% pelajar SM dan SMA mengaku suka menonton film porno.
Masih banyak kasus yang lainnya yang menimpa anak bangsa kita sebagai akibat dari kerangka berfikir liberal yang liberalisme merupakan nilai-nilai yang menekankan kebebasan bagi setiap individu dengan mendasarkan diri pada HAM. Dalam masyarakat barat adalah sebuah kewajaran bagi bangsa barat. Mengingat itu adala sebuah nilai/kaidah yang menjadi kesepakatan masyarakat barat yang dijadikan pegangan dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan dalam hidup bermasyarakat.[3]

C.    MACAM-MACAM BUDAYA BARAT YANG MEWARNAI INDONESIA
Kalau kita bertolak dari pemikiran bahwa ilmu pengetahuan budaya mencakupi disiplin-disiplin yang mengkaji berbagai aspek dari kesukaran. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konsep kebudayaan mempunyai berbagai definisi bergantung pada aliran teoritis yang dianut. Ada konsep kebudayaan yang bersifat materialistis yang mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Sasaran-sasaran kajian seperti ini langsung berkaitan dengan bagaimana manusia mengarap lingkungan biofisika dan berusaha menyelaraskan kehidupan kolektifnya dengan lingkungan itu –sasaran-sasaran kajian itu cenderung didekati dari sudut pandang positivisme atau metodologi ilmu pengetahuan alam. Ada pula konsep kebudayaan yang bersifat idealistis yang memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal. Bagaimana manifestasi itu harus dikaji adalah pertanyaan yang dijawab secara berbeda bergantung pada teori yang dianut mengenai apa yang dimaksud dengan “manifestasi” itu dan bagaimana hubungannya dengan “sistm internal” termaksud.[4]

1.      Ulang tahun
Menurut Axelrod, Oster dan Rawls (2000: 51), di dalam semua kebudayaan biasanya orang selalu membagi daur hidupnya dalam berada stadium, termasuk kelahiran. Oleh karenanya, hari lahir biasa dipestakan, biarpun dengan acara yang paling sederhana sekalipun. Hal yang sama juga berlaku di Amerika Serikat. Hari-hari ulang tahun (birthday) di Amerika Serikat ditandai dengan pemberian hadiah, pengiriman kartu ucapan selamat ulang tahun (sering dengan pernyataan yang bersifat humoris) dari kawan atau kerabat keluarga, dan biasanya diadakan pesta, terutama untuk memperingati ulang tahun anak-anak. Di dalam pesta, tak ketinggalan disediakan kue ulang tahun yang diberi dekorasi khusus berupa tulisan “Happy Birthday to . . .(nama yang berulang tahun)”, dan di atasnya dipasangi lilin-lilin kecil sebanyak usia anak yang berulang tahun. Bila orang dewasa yang berulang tahun, jumlah satuan lilinnya diubah menjadi puluhan, yang berarti satu lilin mewakili sepuluh tahun. Dalam upacara pesta, yang berulang tahun harus mengucapkan keinginannya dalam hati (secret wish) sebelum memadamkan seluruh lilin dengan sekali tiupan. Jika ia dapat melakukannya, maka angan-angan yang diinginkannya akan terkabul.[5]
2.      Valentine’s Day
Menurut Axelrod, Oster dan Rawls (2000: 485-486), hari raya Valentine’s Day (hari kasih sayang) dirayakan pada tanggal 14 Februari. Hari ini bertepatan dengan waktunya dengan saat meninggalnya dua orang syuhada Kristen (Martys Saints). Pertama, seorang pendeta Katolik Roma yang juga seorang dokter yang dibunuh oleh Kaisar Romawi Claudius Ii Gothicus; sedangkan yang lainnya adalah seorang uskup dari Terni, Italia, yang menjadi syuhada di Roma.
Hari raya Valentine’s Day (atau St. Valentine’s Day) ini sudah dihubungkan dengan cinta dan percintaan sejak abad ke-14. Saat ini, versi modernnya sudah seluruhnya bersifat sekuler karena memang tidak ada hubungan antara kehidupan dan jasa kedua orang kudus itu dengan peran hari Valentine sebagai hari para kekasih. Ada kemungkinan besar arti Lupercalia. Pada hari itu, para pemuda menarik nama-nama gadis calon kekasihnya dari dalam sebuah topi pada permainan pesta (play-parties). Selain alasan-alasan tersebut, tangga 14 Februari juga merupakan awal masa burung-burung mulai bercumbu.[6]


BAB III
PENUTUP

Globalisasi digembar-gemborkan oleh negara-negara maju, yaitu barat, tidak lain merupakan sebuah imperialisme nilai terhadap nilai-nilai religiusitas dan pada gilirannya merosotnya moralitas bangsa. Perseteruan budaya dalam ranah-ranah global yang akhirnya berimplikasi pada pencakokan terhadap budaya lokal atau menciptakan homogenitas budaya pada akhirnya budaya barat yang ditandai dengan keebasan telah mendapatkan legitimasi dan generasi bangsa untuk dikonsumsi dan dibiarkan mewarnai bangsa kita.



DAFTAR PUSTAKA

Chistomy, Tomy, Yuwono Untung. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat.
Danandjaja, James. 2003. Folkar Amerika. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.


[4] Tommu Chistomy, Semiotika Budaya, , (Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, 2004), h. 5
[5] James Danandjaja, Folkar Amerika (Cermin Kultural yang Manunggal), (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003), h. 136.
[6] Ibid., h. 150

0 komentar:

Post a Comment