PENDAHULUAN
Perkembangan zaman globalisasi sekarang ini amatlah
pesatnya sehingga membuat kita sering takjub dengan segala penemuan-penemuan
baru di segala bidang. Penemuan-penemuan baru yang lebih banyak didominasi oleh
negara-negara barat tersebut dapat kita simak dan saksikan melalui layar televisi,
koran, internet dan sebagai yang sering membuat kita geleng-geleng kepala
sebagai orang Indonesia yang hanya bisa menikmati dan memakai penemuan
orang-orang Barat tersebut. Penemuan-penemuan
baru tersebut merupakan sisi positif yang dapat kita ambil dari negara-negara
Barat itu sedngkan di negara-negara Barat itu sendiri makin maju dan modern
diiringi pula dengan bebasnya mereka dalam bertindak dan berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari sehingga menjadi suatu kebiasaan yang membudaya.
Kebiasaan-kebiasaan orang Barat yang
telah membudaya tersebut hampir dapat kita saksikan setiap hari. Melalui media elektronik
dan cetak yang celakanya kebudayaan orang-orang Barat tersebut yang difatnya
negatif dan cenderung merusak serta melanggar norma-norma ketimuran kita sehingga
ditonton dan ditiru oleh orang-orang kita terutama para remaja yang
menginginkan kebebasan seperti orang-orang Barat. Kebudayaan-kebudayaan Barat
tersebut dapat kita mulai dari pakaian dan mode, musik, film, sampai pada
pergaulan dengan lawan jenis.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
PENGARUH GLOBALISASI BUDAYA BARAT TERHADAP
MORALITAS BANGSA
A.
RUNTUHNYA KEBUDAYAAN KARENA TEKNOLOGI
Globalisasi yang dtandai dengan pesatnya teknologi
komunikasi dan transportasi, telah membuat dunia menjadi semakin kecil dan
semakin terkoneksi, yang mengakibatkan meningkatnya interaksi antar individu,
kelompok dari berbagai penjuru dunia. Dengan demikian interaksi yang telah
berlangsung tidak terlepas dari pertukaran berbagai informasi antara individu,
kelompok yang melintasi batas negara, sehingga tidak menutup kemungkinan
perubahan di beberapa aspek kehidupan terjadi. Perkembangan barang-barang seperti
telefon, televisi, dan internet, menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi
sedemikian cepat. Sementara melalui masa semacam turisme memungkinkan kita
merasakan hal dari budaya yang berbeda.
Dunia barat yang begiru gencar mendorong arus
globalisasi yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi.
Mempunyai pengaruh besar terhadap budaya lokal karena globalisasi tidak hanya
berbicara mengenai interaksi dalam bidang ekonomi yang dilakukan dengan cara
perdagangan bebas akan tetapi globalisasi juga merupakan persebaran nilai yang
merupakan bagian dari budaya.
Budaya barat yang identik dengan kebebasan serta
budaya yang lainnya yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia
menyebabkan terjadinya persaingan budaya, antara budaya lokal (Indonesia) dan
budaya barat. Perseteruan atau persaingan ini akan selalu ditandai kekalahan
dan kemenangan, zero sum game. Dalam hal ini bisa kita prediksi satu
kebudayaan lokal yang tidak didukung oleh alat sebagai sebuah kekuatan dengan
kebudayaan (barat) yang didukung oleh berbagai sarana atau alat sebagai
kekuatan, maka adalah sesuatu yang tentu jelas bahwa kebudayaan lokal akan
mengalami kekalahan. Budaya lokal sudah tidak mampu lagi membendung/merubah
kerangka pemikiran masyarakat Indonesia yang akhirnya juga berimplikasi pada
sikap, perilaku. Artinya masyarakat akan selalu berupaya meniru, dan
mendapatkan ciri-ciri, karakteristik yang dimiliki oleh orang barat. Dengan
alasan Hak Asasi Manusia, banyak muncul gaya hidup dan budaya ala barat yang
jauh menyimpang dari budaya ketimuran. Salah satunya adalah munculnya
hedonisme. Hedonisme merupakan hasil yang ditelorkan oleh budaya liberal. Yang
beranggapan bahwa tujuan hidup untuk mencari kesenangan dan kenikmatan materi.
Asumsi ini didasarkan pada sebuah pandangan bahwa hidup hanya terjadi satu
kali. Oleh karena itu, pemanfaatan atas hidup ini perlu dimaksimalkan.
Kemajuan teknologi telah menyebabkan terjadinya
bentuk komunikasi dengan mudah misalnya dengan telepon, televisi, internet, dan
radio. Kemajuan teknologi di bidang informasi ini tentunya mendatangkan banyak
efek bawaan. Pertukaran informasi yang berlangsung dengan sangat cepat dan
mudah telah membawa kita pada suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan liberal
yang diwadahi oleh globalisasi. Seperti halnya hedonisme. Hedonisme sebagai
nilai baru yang bukan sekedar berasal dari barat, tepatnya berasal dari gaya
hidup masyarakat industri modern yang lebih berwatak liberal. Adalah sebuah
produk kebudayaan yang kini merambah ke dalam kehidupan masyarakat dunia
ketiga, yang secara struktural masih sangat labil di satu sisi dan di sisi lain
secara kultural masih cenderung
konservatif (teguh memegang nilai-nilai tradisi lokal). Hedonisme bagi
masyarakat industri modern adalah sebuah keniscayaan, namun bagi masyarakat
tradisional budaya ini merupakan ancaman yang ditafsirkan akan selalu membawa
petaka.[2]
B.
PENGARUH BUDAYA BARAT TERHADAP MORALITAS REMAJA
Pada dasarnya banyak sekali para remaja kita yang
mengikuti budaya-budya barat, mulai dari pakaian dan mode, musik, film, sampai
pada pergaulan lawan jenis.
Pakaian dan mode seperti model pakaian “U can
See” yang diterapkan oleh orang barat ditiru oleh kaum remaja kit ateurtama
oleh kaum perempuan yang merasa bangga dengan pakaiannya sehingga tidak menutup
auratya. Dalam musik, memang industri musik di negara kita berkiblat pada
industri musik di negara barat karena kepandaian mereka dalam menemukan dan
mencampurkan berbagai jenis musik baru dan sering berinovasi yang menjadi trend
seperti rock alternative yang sekarang bisa mereka kembangkan menjadi
sesuatu yang lebih baru. Namun ada juga jenis musik yang cenderung aneh dan
merusak seperti jenis musik Underground, Punk dan Balck Metal yang
cenderung brutal dan menyeramkan. Jenis musik Underground sekarang ini
di Padang sudah mulai menggejala di mana sering diadakannya konser-konser “Sound
of Death” dan “Padang Bawah Tanah” yang menampilkan musik dan nama-nama
Group aneh dan menyeramkan seperti Cindaku, mayat, Roh, pelet dan lain-lain.
Penampilan mereka pun punya ciri khas tersendiri seperti celana hitam dan baju
kaos hitam yang dihiasi dengan gambar-gambar menyeramkan serta rambut panjang
yang dicat warna kuning ditambah anting-anting di hidung dan telinga plus
dengan sepatu tinggi hitam. Musik yang mereka mainkan pun sangat sulit
dimengerti dan diiringi dengan tari-tarian yang menyeramkan sehingga sering
disebut “Musik Setan”. Pernah seorang kawan penulis yang menganut msuik UnderGround
memakai baju kaos hitam bertuliskan “Live for Setan” dengan gambar
setan merah bertanduk namun ia bangga memakainya karena mencerminkan kebebasan
dan kemoderenan. Kalau budaya begini sampai merebak maka dikhawatirkan para
remaja bukan lagi menyembah Tuhan melainkan menyembah setan yang sebetulnya
menjadi musuh manusia. Begitu juga dengan musik Punk dan BlackMetal yang
juga “Satanic” (berbau setan). Dalam majalah “HAI” edisi baru-baru ini penulsi
baca tentang “SlipKnot” di New York yang konsernya dihiasi dengan layar merah
darah digambari pentagram dengan kepala kambing yang dikenal sebagai simbol “Pemuja
setan”. Sewaktu konser mereka kerap mengucapkan kata-kata umpatan yang kotor. Kalau
budaya barat begitu yang ditiru, maka remaja kita nantinya diasumsikan akan
mengalami anomi dalam dirinya sebagai generasi penerus bangsa.
Film: film-film Holywood yang sering mengumbar
kekerasan dan adegan yang sering menjadi totonan bagi kaum remaja kita serba
mereka terpengaruh dan ikut menirunya padahal yang seperti itu tidak sesuai
dengan budaya Timur kita yang masih kuat norma-norma keagamaannya. Pergaulan:
dalam hal pergaulan pun budaya barat cenderung merusak sepeti pergaulan dalam suatu
genk yang diwarnai dengan pemakaian obat-obatan terlarang, begitu juga dengan
pergaulan dengan lawan jenis yang lebih bebas lagi seperti begitu berkenalan
langsung jatuh cinta dan akhirnya diakhiri dengan berkencan sehingga timbul
budaya kumpul kebo.
Bagi bangsa barat budaya hedonisme merupakan suatu
kewajaran bagi manusia karena setiap manusia pasti selalu mendambakan kesenangan
dan yang sering menjadi dasar bagi pandangan ini adalah HAM. Pada dasarnya
hedonisme merupakan budaya barat yang ditandai dengan kebebasan dalam rangka
untuk mencapai kebahagian/happiness, seperti halnya pergaulan bebas,
berpakaian bebas, clubbing yang sering ditandai dengan obat-obatan
terlarang dan minum-minum keras dan implikasinya sangat besar terhadap
moralitas bangsa. Dan begitu juga dengan Valentine’s Day yang
merupakan sebuah kebohongan belaka dari hari kasih sayang karena momen ini
selalu diwarnai oleh dekonstruksi keperawanan, (kesucian bukanlah sesuatu yang
utama). Beberapa catatan di bawah ini yang menimpa remaja kita.
Di tengah berita siswa-siswi berprestasi dalam
ajang penelitian, olimpiade sains, seni dan olahraga, anak muda Indonesia saat
ini terancam dalam masa chaos. Jutaan remaja kita menjadi korban
perusahaan nikotin-rokok. Lebih dari 2 juta remaja Indonesia ketagihan narkoba
(BNN 2004) dan lebih dari 8000 remaja terdiagnosis pengidap AIDS (Depkes 2008).
Di samping itu, moral anak-anak dalam hubungan seksual telah memasuki tahap
yang menghawatirkan. Lebih dari 60% remaja SMP dan SMA Indonesia, sudah tidak
perawan lagi. Perilaku hidup bebas telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan
masyarakat kita. Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak, bekerja
sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh
pengakuan remaja bahwa: sebanyak 93,7 ana SMP dan SMU pernah melakukan ciuman,
petting, dan oral seks. Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan.
Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Dari 2 juta wanita
Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan.
Sebanyak 97% pelajar SM dan SMA mengaku suka menonton film porno.
Masih banyak kasus yang lainnya yang menimpa anak
bangsa kita sebagai akibat dari kerangka berfikir liberal yang liberalisme
merupakan nilai-nilai yang menekankan kebebasan bagi setiap individu dengan
mendasarkan diri pada HAM. Dalam masyarakat barat adalah sebuah kewajaran bagi
bangsa barat. Mengingat itu adala sebuah nilai/kaidah yang menjadi kesepakatan
masyarakat barat yang dijadikan pegangan dalam menyelesaikan berbagai
persoalan-persoalan dalam hidup bermasyarakat.[3]
C.
MACAM-MACAM BUDAYA BARAT YANG MEWARNAI INDONESIA
Kalau kita bertolak dari pemikiran bahwa ilmu
pengetahuan budaya mencakupi disiplin-disiplin yang mengkaji berbagai aspek
dari kesukaran. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konsep kebudayaan
mempunyai berbagai definisi bergantung pada aliran teoritis yang dianut. Ada
konsep kebudayaan yang bersifat materialistis yang mendefinisikan kebudayaan
sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu
sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat.
Sasaran-sasaran kajian seperti ini langsung berkaitan dengan bagaimana manusia
mengarap lingkungan biofisika dan berusaha menyelaraskan kehidupan kolektifnya
dengan lingkungan itu –sasaran-sasaran kajian itu cenderung didekati dari sudut
pandang positivisme atau metodologi ilmu pengetahuan alam. Ada pula konsep
kebudayaan yang bersifat idealistis yang memandang semua fenomena eksternal
sebagai manifestasi suatu sistem internal. Bagaimana manifestasi itu harus
dikaji adalah pertanyaan yang dijawab secara berbeda bergantung pada teori yang
dianut mengenai apa yang dimaksud dengan “manifestasi” itu dan bagaimana
hubungannya dengan “sistm internal” termaksud.[4]
1.
Ulang tahun
Menurut Axelrod,
Oster dan Rawls (2000: 51), di dalam semua kebudayaan biasanya orang selalu
membagi daur hidupnya dalam berada stadium, termasuk kelahiran. Oleh karenanya,
hari lahir biasa dipestakan, biarpun dengan acara yang paling sederhana
sekalipun. Hal yang sama juga berlaku di Amerika Serikat. Hari-hari ulang tahun
(birthday) di Amerika Serikat ditandai dengan pemberian hadiah,
pengiriman kartu ucapan selamat ulang tahun (sering dengan pernyataan yang
bersifat humoris) dari kawan atau kerabat keluarga, dan biasanya diadakan
pesta, terutama untuk memperingati ulang tahun anak-anak. Di dalam pesta, tak
ketinggalan disediakan kue ulang tahun yang diberi dekorasi khusus berupa
tulisan “Happy Birthday to . . .(nama yang berulang tahun)”, dan di
atasnya dipasangi lilin-lilin kecil sebanyak usia anak yang berulang tahun.
Bila orang dewasa yang berulang tahun, jumlah satuan lilinnya diubah menjadi
puluhan, yang berarti satu lilin mewakili sepuluh tahun. Dalam upacara pesta,
yang berulang tahun harus mengucapkan keinginannya dalam hati (secret wish)
sebelum memadamkan seluruh lilin dengan sekali tiupan. Jika ia dapat
melakukannya, maka angan-angan yang diinginkannya akan terkabul.[5]
2.
Valentine’s Day
Menurut Axelrod,
Oster dan Rawls (2000: 485-486), hari raya Valentine’s Day (hari kasih
sayang) dirayakan pada tanggal 14 Februari. Hari ini bertepatan dengan waktunya
dengan saat meninggalnya dua orang syuhada Kristen (Martys Saints).
Pertama, seorang pendeta Katolik Roma yang juga seorang dokter yang dibunuh
oleh Kaisar Romawi Claudius Ii Gothicus; sedangkan yang lainnya adalah seorang
uskup dari Terni, Italia, yang menjadi syuhada di Roma.
Hari raya Valentine’s
Day (atau St. Valentine’s Day) ini sudah dihubungkan dengan cinta
dan percintaan sejak abad ke-14. Saat ini, versi modernnya sudah seluruhnya
bersifat sekuler karena memang tidak ada hubungan antara kehidupan dan jasa
kedua orang kudus itu dengan peran hari Valentine sebagai hari para
kekasih. Ada kemungkinan besar arti Lupercalia. Pada hari itu, para pemuda
menarik nama-nama gadis calon kekasihnya dari dalam sebuah topi pada permainan
pesta (play-parties). Selain alasan-alasan tersebut, tangga 14 Februari
juga merupakan awal masa burung-burung mulai bercumbu.[6]
BAB III
PENUTUP
Globalisasi
digembar-gemborkan oleh negara-negara maju, yaitu barat, tidak lain merupakan
sebuah imperialisme nilai terhadap nilai-nilai religiusitas dan pada gilirannya
merosotnya moralitas bangsa. Perseteruan budaya dalam ranah-ranah global yang
akhirnya berimplikasi pada pencakokan terhadap budaya lokal atau menciptakan
homogenitas budaya pada akhirnya budaya barat yang ditandai dengan keebasan
telah mendapatkan legitimasi dan generasi bangsa untuk dikonsumsi dan dibiarkan
mewarnai bangsa kita.
DAFTAR PUSTAKA
Chistomy, Tomy, Yuwono Untung. 2004. Semiotika
Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat.
Danandjaja, James. 2003. Folkar Amerika. Jakarta:
PT. Pustaka Utama Grafiti.
0 komentar:
Post a Comment