Thursday, 16 May 2013

Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional



PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, sikap hidup religious ini telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Sejak kepercayaan nenek moyang bangsa-bangsa berupa kepercayaan animism dan dinamisme berkembangdi masyarakat Indonesia, sampai pada akhirnya masuk agama Hindu Dan Budha ke Indonesia di iringi masuknya agama Islam ke Indonesia, terakhir hingga masuknya agama Kristen, membuktikan bahwa masyarakat  Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Fakta-fakta sejarah juga mendukung kenyatan ini. Dengan demikian tidak salah apabila dikatakan bahwa agama telah merupakan darah daging bagi masyarakat Indonesia. Karena itulah para pendiri bangsa Indonesia sewaktu merumuskan dasar negara mereka sepakat untuk mencantumkan azas “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai salah satu dari azas pancasila.  Dan kita sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan cinta tanah air menjadikan falsafah pancasila sebagai pedoman hidup bernegara dan bermasyarakat.  Sepakat bahwa pendidikan agama (khususnya Islam) harus kita sukseskan dalam semua jenis, jenjang dan jalurnya. Sesuai dan sejalan dengan aspirasi bangsa. Permasalahan yang perlu kita bahas adalah bagaimana cara pelaksanaanya agar pendidikan agama kita lebih berguna dalam mewujudkan generasi bangsa yang berkualitas unggul, lahiriah dan bathiniyah. Berkemampuan tinggi dalam kehidupan aqliyah dan aqidah serta berbobot dalam perilaku amaliyah dan muamalah. Sehinnga survive dalam arus dinamika perubahan sosial budaya pada masa hidupnya. Ketahanan mental, spiritual dan fisik berkat pribadi agama kita benar-benar berfungsi efektif bagi kehidupan generasi bangsa dari waktu-ke waktu. Idealitas tersebut baru dapat terlaksana dengan tepat sasaran jika kita mampu meletakkan strategi dasar yang berwawasan jauh kemasa depan kehidupan bangsa, kehidupan yang dihadapkan kepada kemajuan ilmu dan tekhnologi canggih yang semakain sekularisrtik arahnya.



PEMBAHASAN
PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

1.      PENDIDIKAN NASIONAL
Berdasarkan pada undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional Bab I pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Adapun rumusan tentang Pendidikan Nasional dapat pemakalah kemukakan pendapat Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan  Nasional di Indonesia serta dianggkat oleh pemerintah sebagai Bapak pendidikan, menyatakan sebagai berikut:” Pendidikan nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri-kehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agara dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia disekuruh dunia”. Dengan demikian nampak erat sekali hubungan anatara seorang nasionalisme dengan keyakinan hidup kebangsaan. Hal ini akan dihayati bagi orang yang menyatakan diri dengan hidup bagsanya dan merasa terikat dengan benang sutera kecintaan yang halus dan suci dengan bangsanya.[1]
Karakteristik pendidikan nasional :
a.       Dari segi dasar, pendidikan Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b.      Dari segi fungsinya, pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.
c.       Dari segi tujuan, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab ke masyarakat dan kebangsaan.
d.      Dari kesempatan yang diberikan, dalam pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
e.       Dari segi penyelenggaraan, pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan faktor pendidikan luar sekolah
f.       Dari segi tenaga kependdikan, sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pemiliki, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang penddikan, pustakawan, laboran dan teknisi sumber belajar
g.      Dari segi kurikulum, sistem pendidikan nasional mengatakan bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuai dengan lingkungan.[2]

2.      PENDIDIKAN AGAMA
Persepsi keilmuan kita saat ini tentang arti pendidikan, mengandung implikasi yang lebih komprehensif ketimbang arti pengajaran, pendidikan biasa didefinisikan sebagai “usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan bagi peranya dimasa yang akan datang”. Jelas di sini, pendidikan mencakup proses kegiatan pengajaran di samping bimbingan dan latihan. Lebih diorientasikan ke masa depan yang mana fenomenanya tak lain adalah penerimaan betapa pentingnya penguasaan dan pemanfaatan serta pengendalian kemajuan iptek bagi pembagunan bangsa.[3]
Sedangkan tentang batasan Pendidikan agama lebih ditekankan pada proses internalisasi dan transformasi nilai-nilai keagamaan kedalam diri anak didik. Mengingat pendidikan agama pada hakikatnya bertujuan membentuk pribadi yang beriman dan bertaqwa sebagai elan vitalnya kehidupan lahiriah dan bathiniyah manusia Indonesia seutuhnya. Jika dengan pengertian tersebut, proses kependidikan agama menanamkan atau mempribadikan tata nilai keagamaan. Dalam hal ini Islam yang mengacu kepada keimanan dan ketaqwaan (sebagai pondasi dasar yang tak tampak atau rahasia) yang berdaya dorong memotivasi proses kegiatan perilaku yang tampak, yang mewujud dalam akhlaqul karimah di bidang kehidupan termasuk iptek. Di sisi lain dan antara kedua sisi tersebut senantiasa saling berinteraksi.[4]

3.      RELEVANSI KEBIJAKAN TERHADAP EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM
Relevansi dari kebijakan pemerintah  terhadap Pendidikan Islam dapat dilihat dari dikeluarkannya Tap MPRS No. 2 Tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan menteri agama. Selain itu dalam tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsure mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Berdasarkan ketentuan ini maka Departemen Agama menyelenggarakan Pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden no. 34 tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal yaitu:
a.       Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan;
b.      Menteri Tenaga Kerja bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlan dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri;
c.       Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.[5]
Kemudian dikeluarkan Inpres No. 15 tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan  pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari pernyataan di atas, Drs. Akmal Hawi, M.Ag menyimpulkan bahwa kebijakan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres No. 15 tahun 1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah tidak saja diasingkan dengan pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan. Dengan kata lain, Kepres dan Inpres di atas dipandang oleh sebagan umat Islam sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan Islam (Akmal Hawi, 2005: 120). Hal ini menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam terhadap kebijakan pemerintah tersebut yang dianggap merugikan bagi kelangsungan pendidikan Islam, kemudian reaksi umat Islam ini mendapat perhatian oleh Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama. Lenbaga ini memandang bahwa madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan Islam. Oleh sebab itu, yang tepat untuk menyelenggarakannya adalah Departemen Agama sebab Menteri Agama yang lebih tahu tentang kebutuhan pendidikan agama bukan Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Wirosyukarto, 1996: 88). Dengan memperhatikan aspirasi umat Islam di atas, maka dengan ini pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Ketiga menteri itu adalah menteri pendidikan, menteri dalam negeri, dan menteri agama. Tujuan lahirnya SKB Tiga Menteri adalah untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan dihapuskannya system pendidikan madrasah. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan pada sidang Kabinet pada tanggal 26 Nopember 1974.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madarasah dan sekaligus merupakan langkah strategis untuk menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam system pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggaraan kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidkikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar.

4.      KEDUDUKAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Kajian historis seperti yang diungkapkan terdahulu bahwa pendidikan islam di Indonesia, telah berlangsung sejak masuknya islam ke Indonesia. Pendidikan itu pada tahap awal terlaksana atas adanya kontrak antara pedagang atau mubaligh dengan masyarakat sekitar, bentuknya lebih mengarah kepada pendidikan informal. Setelah berdiri kerajaan-kerajaan islam di Indonesia maka pendidikan islam tersebut berada di bawah tanggung jawab kerajaan islam. Dan pendidikan tidak hanya berlangsung dilanggar-langgar atau masjid, tetapi ada yang dilaksanakan di lembaga pendidikan pesantren.[6]
Masuknya kaum penjajah barat, memisahkan pendidikan islam, dengan pendidikan Barat. Pendidikan Barat berada pada alur dan jalur binaan pemerintah dengan fasilitas yang memadai, sedangkan pendidikan islam terlepas dari tanggung  jawab pemerintah kolonial. Kenyataanya membuat ada dua generasi yang berbeda orientasinya. Pertama, pendidikan islam yang ketika itu dilaksanakan di pesantren orientasinya keakhiratan, kedua, pendidikan Barat orientasinya adalah keduniaan. Sebetulnya perbedaan yang mencolok bukan hanya terletak kepada perbedaan kedua orientasi itu, tetapi lebih dari itu pemerintah kolonial Belanda tidak menempatkan pendidikan Islam sebagai bagian dari perhatian mereka. Tidak memasukkan pendidikan Islam dalam system pendidikan kolonial Belanda, bukan hanya itu bahkan pendidikan agama pun tidak diberikan di sekolah-sekolah pemerintah.[7]

5.      ORIENTASI PELAKSANAN  PENDIDIKAN AGAMA
Dasar pendidikan yang paling utama adalah Pancasila dan UUD 1945, dasar pendidikan ini secara tidak langsung mengharuskan kita untuk menyelenggarakan proses pendidikan nasional yang konsisten dan secara integralistik menuju ke arah pencapaian tujuan akhir. Terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas unggul yang berkembang dan tumbuh diatas pola kehidupan yang seimbang antara lahiriah dan bathiniyah. Jalan menuju tujuan tersebut adalah tidak lain adalah melalui proses pendidikan yang berorientasi kepada hubungan tiga arah yaitu hubungan anak didik dengan Tuhannya, dengan masyarakatnya dan dengan alam sekitarnya.
a.       Hubungan dengan Tuhannya menghendaki adanya konsepsi ketuhanan yang telah mapan dan secara pasti dijabarkan  dalam bentuk norma-norma ubudiyah mahdzah yang wajib ditaati oleh anak didik secara syar’i.
b.      Hubungan dengan masyarakatnya memerlukan norma-norma dan aturan-aturan yang mengarahkan proses hubungan antara sesama manusia bersifat lentur dalam konfigurasi rentangan tata nilainya, tapi tidak melanggar atau merusak prinsip-prinsip dasarnya yang absolute, dalam arti tidak cultural relativistic. Seluruh lapangan hidup manusia adalah merupakan arena dimana hubungan social dari interpersonal terjadi sepanjang hayat, termasuk lapangan hidup iptek.
c.       Hubungan dengan alam sekitarnya menuntut adanya kaidah-kaidah yang mengatur dan mengarahkan kegiatan manusia didik dengan bekal ipteknya dalam penggalian, pemanfaatan, dan pengolahan kekayaan yang menyejahterakan kesadaran terhadap bahaya arus balik sanksi alam, akibat pengurasan habis-habisan terhadap kekayaan alam melebihi kapasitas alamiahnya.[8]

6.      MODEL-MODEL DAN METODE DALAM PENDIDIKAN AGAMA
Metode sebagai salah satu sarana penting dalam proses pendidikan agama juga harus dikaji dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan perkembangan jiwa anak didik/ remaja agar mampu memungkinkan dirinya dalam arena kompetisi kehidupan modern dimana didalamnya penuh tantangan dan pertentangan nilai-nilai etik–sekularistik dan nilai sosialistik religius atau nilai–nilai relativisme cultural yang berubah-ubah dengan nilai-nilai absolutisme agama yang konstan dan stabil. Metode pendidikan yang hanya menitikberatkan pada kemampuan verbalistik harus diubah menjadi kemampuan menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang merentang antara yang paling wajib atau halal sampai kepada hal yang paling terlarang (haram) dalam 5 kategorinya. Metode pendidikan agama yang menggunakan pendekatan kognitif, afektif, dan psikomotorik sendiri yang satu sama lain terpisah berdiri sendiri dalam mengembangkan potensi keagamaan perlu dilakukan modifikasi dengan mengintegrasikan ketiga-tiganya ke dalam satu pola kemampuan mengamalkan dalam perilaku yang mengacu kepada kebutuhan pembangunan masyarakatnya.[9]
Pendidikan Agama selain harus menginternalisasikan dan mentransformasikan nilai-nilai keagamaan yang berpusat pada kemampuan efektif emosional, sehingga sumber kekuatan keimanan dan ketuhanan bermukim di dada (di hati), Pendidikan agama juga harus dapat menggerakkan intelektualitas yang berpusat di dalam rasio( di kepala) sehingga mampu mengembangkan kemampuan kognitif untuk menggali kebenaran adanta Tuhan beserta ajaran-ajarannya dari kandungan ciptaan-Nya yang terjabar dalam fenomena alamiah (kauniah). Dari kedua pusat kemampuan inilah, manusia didik dapat mencapai makrifat kepada Allah Swt dan atas kedua pusat kemampuan tersebut terjadi proses interaktif yang seimbang menuju kea rah terbentuknya perilaku lahiriah yang mengacu kepada orientasi kehidupan yang hasanah dunia ukhrawi.
Metode yang diperlukan untuk mendorong kedua kemampuan tersebut berkembang adalah metode yang bersifat motivatif dan persuasif terhadap minat dan perhatian manusia didik untuk memikirkan (merefleksikan) dan merasakan makna-makna yang terkandung dalam gejala kauniah sebagai ciptaan Allah SWT. Minat dan perhatian tersebut dapat ditumbuhkan melalui proses dialogis antara manusia didik dengan pendidik agama, bukan melalui metode verbalistik (menghafal bahan pelajaran) atau metode pidato, ceramah seperti yang masih dipraktikkan oleh kebanyakan guru agama di dunia Islam sekarang.
Untuk mengembangkan pikiran dan perasaan manusia didik dalam proses kependidikan agama itu, perlu didesain model kurikulum yang dinamis dalam substansi/materi, menggerakkan pendidik dan manusia didik yang secara politik-politiknya dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.    Subtansi / materi pelajaran lebih dipusatkan pada permasalahan kehidupan sosio-kultural masa kini  yang perspektif  ke arah masa depan, yang mendorong minat dan perhatian manusia didik untuk mengkonsepkan tujuan dan nilai-nilainya yang inheren dengan tuntunan Allah.
2.    Posisi pendidikan, harus mampu menciptakan situasi komunitas yang dialogis yang mengandung interdependency antara dirinya dengan manusia didik.
3.    Manusia didik dalam proses belajar-mengajar aktif melakukan komunikasi yang dialogis dengan pendidik, teman sebaya dan alam sekitarnya.
Model kurikulum yang diuraikan secara singkat diatas memang memerlukan formulasi yang kritikal terhadap kurikulum pendidikan agama yang telah ada sekarang yang dilaksanakan berdasarkan pendekatan PPSI yang berorientasi kepada dan efisiensi dan efektifitas belajar mengajar.[10]


KESIMPULAN

Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggug jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujaunnya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi.
Dengan demikian strategi pendidikan agama di semua lingkungan pendidikan tidak hanya bertugas memotivasi kehidupan dan mengeliminasi dampak negatif pembangunan, melainkan juga harus mampu mengintealisasikan nilai-nilai dasar yang bersifat absolut dari Tuhan ke dalam pribadi utuh yang mampu menjadi filter dan selektor, sekaligus penangkal terhadap dampak negatif dari dalam proses maupun dari luar proses pembangunan nasional.
Untuk tujuan itulah pendidikan agama diarahkan pada terbentuknya manusia Indonesia beridentitas dan berkepribadian Pancasialis, moralitas agamis yang kondusif serta ketegaran dan keteguhan pribadi dalam menghadapi pasang surut pembangunan bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H. Muzayyin, Prof.  M. Ed. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Daulay, Haidar Putra, Prof. dr. MA. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islan di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Djamaludin. 1999. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaa Setia.

Arifin, M. 1995. Kapita Selekta Pendidikan (lslam dan Umum). Jakarta: Bumiaksara.














                                                                                                                         


[1] http://antoniyuzar.wordpress.com/2009/07/27/pendidikan-islam-dlm-sistem-pendidikan-nasional-tinjauan-terhadap-perjalanan-sistem-pendidian-islam.
[2] Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaa Setia, 1999), h. 91-94
[3] Prof. H. Muzayyin Arifin, M. Ed, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003) hal. 205
[4] Prof. H. Muzayyin Arifin, M. Ed, Op. Cit, h. 205
[5] http://antoniyuzar.wordpress.com/2009/07/27/pendidikan-islam-dlm-sistem-pendidikan-nasional-tinjauan-terhadap-perjalanan-sistem-pendidian-islam.
[6] Prof. dr. Haidar Putra daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 159-160
[7] Prof. dr. Haidar Putra daulay, MA, Op. Cit, hal. 160
[8] Ibid, 210
[9] prof. H.M arifin, M.Ed. kapita selekta pendidikan (islam dan umum), (jakarta: bumi aksara, 1995), hlm.88

[10] ibid,, h. 137-138.

0 komentar:

Post a Comment