PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius,
sikap hidup religious ini telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu
kala. Sejak kepercayaan nenek moyang bangsa-bangsa berupa kepercayaan animism
dan dinamisme berkembangdi masyarakat Indonesia, sampai pada akhirnya masuk
agama Hindu Dan Budha ke Indonesia di iringi masuknya agama Islam ke Indonesia,
terakhir hingga masuknya agama Kristen, membuktikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama.
Fakta-fakta sejarah juga mendukung kenyatan ini. Dengan demikian tidak salah
apabila dikatakan bahwa agama telah merupakan darah daging bagi masyarakat
Indonesia. Karena itulah para pendiri bangsa Indonesia sewaktu merumuskan dasar
negara mereka sepakat untuk mencantumkan azas “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai
salah satu dari azas pancasila. Dan kita
sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan cinta
tanah air menjadikan falsafah pancasila sebagai pedoman hidup bernegara dan
bermasyarakat. Sepakat bahwa pendidikan
agama (khususnya Islam) harus kita sukseskan dalam semua jenis, jenjang dan
jalurnya. Sesuai dan sejalan dengan aspirasi bangsa. Permasalahan yang perlu
kita bahas adalah bagaimana cara pelaksanaanya agar pendidikan agama kita lebih
berguna dalam mewujudkan generasi bangsa yang berkualitas unggul, lahiriah dan
bathiniyah. Berkemampuan tinggi dalam kehidupan aqliyah dan aqidah serta
berbobot dalam perilaku amaliyah dan muamalah. Sehinnga survive dalam arus
dinamika perubahan sosial budaya pada masa hidupnya. Ketahanan mental,
spiritual dan fisik berkat pribadi agama kita benar-benar berfungsi efektif
bagi kehidupan generasi bangsa dari waktu-ke waktu. Idealitas tersebut baru
dapat terlaksana dengan tepat sasaran jika kita mampu meletakkan strategi dasar
yang berwawasan jauh kemasa depan kehidupan bangsa, kehidupan yang dihadapkan
kepada kemajuan ilmu dan tekhnologi canggih yang semakain sekularisrtik
arahnya.
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
1. PENDIDIKAN NASIONAL
Berdasarkan pada
undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional Bab I
pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman. Adapun rumusan tentang Pendidikan Nasional
dapat pemakalah kemukakan pendapat Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Nasional di Indonesia serta dianggkat oleh
pemerintah sebagai Bapak pendidikan, menyatakan sebagai berikut:” Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan
ditujukan untuk keperluan peri-kehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara
dan rakyatnya, agara dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk
kemuliaan segenap manusia disekuruh dunia”. Dengan demikian nampak erat
sekali hubungan anatara seorang nasionalisme dengan keyakinan hidup kebangsaan.
Hal ini akan dihayati bagi orang yang menyatakan diri dengan hidup bagsanya dan
merasa terikat dengan benang sutera kecintaan yang halus dan suci dengan
bangsanya.[1]
Karakteristik pendidikan
nasional :
a. Dari segi dasar, pendidikan Indonesia
berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b. Dari segi fungsinya, pendidikan di Indonesia
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan
martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.
c. Dari segi tujuan, pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab ke masyarakat dan
kebangsaan.
d. Dari kesempatan yang diberikan, dalam
pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan
e. Dari segi penyelenggaraan, pendidikan
dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan faktor
pendidikan luar sekolah
f. Dari segi tenaga kependdikan, sistem pendidikan
nasional menyebutkan bahwa kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola
satuan pendidikan, pemiliki, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang
penddikan, pustakawan, laboran dan teknisi sumber belajar
g. Dari segi kurikulum, sistem pendidikan nasional
mengatakan bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuai dengan
lingkungan.[2]
2. PENDIDIKAN AGAMA
Persepsi keilmuan kita saat
ini tentang arti pendidikan, mengandung implikasi yang lebih komprehensif
ketimbang arti pengajaran, pendidikan biasa didefinisikan sebagai “usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan
bagi peranya dimasa yang akan datang”. Jelas di sini, pendidikan mencakup
proses kegiatan pengajaran di samping bimbingan dan latihan. Lebih
diorientasikan ke masa depan yang mana fenomenanya tak lain adalah penerimaan
betapa pentingnya penguasaan dan pemanfaatan serta pengendalian kemajuan iptek
bagi pembagunan bangsa.[3]
Sedangkan tentang batasan
Pendidikan agama lebih ditekankan pada proses internalisasi dan transformasi
nilai-nilai keagamaan kedalam diri anak didik. Mengingat pendidikan agama pada
hakikatnya bertujuan membentuk pribadi yang beriman dan bertaqwa sebagai elan
vitalnya kehidupan lahiriah dan bathiniyah manusia Indonesia seutuhnya. Jika
dengan pengertian tersebut, proses kependidikan agama menanamkan atau
mempribadikan tata nilai keagamaan. Dalam hal ini Islam yang mengacu kepada
keimanan dan ketaqwaan (sebagai pondasi dasar yang tak tampak atau rahasia)
yang berdaya dorong memotivasi proses kegiatan perilaku yang tampak, yang
mewujud dalam akhlaqul karimah di bidang kehidupan termasuk iptek. Di sisi lain
dan antara kedua sisi tersebut senantiasa saling berinteraksi.[4]
3. RELEVANSI KEBIJAKAN TERHADAP EKSISTENSI
PENDIDIKAN ISLAM
Relevansi dari kebijakan
pemerintah terhadap Pendidikan Islam
dapat dilihat dari dikeluarkannya Tap MPRS No. 2 Tahun 1960 ditegaskan bahwa
madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Selain itu dalam tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan
salah satu unsure mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Berdasarkan
ketentuan ini maka Departemen Agama menyelenggarakan Pendidikan madrasah tidak
saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi bersifat kejuruan. Dengan keputusan
presiden no. 34 tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan
latihan. Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal yaitu:
a. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan
bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan;
b. Menteri Tenaga Kerja bertanggung jawab atas
pembinaan latihan keahlan dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri;
c. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan
bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai
negeri.[5]
Kemudian dikeluarkan Inpres
No. 15 tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan menjadi
sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan
kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari
pernyataan di atas, Drs. Akmal Hawi, M.Ag menyimpulkan bahwa kebijakan
Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres No.
15 tahun 1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah
tidak saja diasingkan dengan pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat
akan dihapuskan. Dengan kata lain, Kepres dan Inpres di atas dipandang oleh
sebagan umat Islam sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat
madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan Islam (Akmal Hawi, 2005: 120). Hal
ini menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam terhadap kebijakan pemerintah
tersebut yang dianggap merugikan bagi kelangsungan pendidikan Islam, kemudian
reaksi umat Islam ini mendapat perhatian oleh Musyawarah Kerja Majelis
Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama. Lenbaga ini memandang bahwa
madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan Islam. Oleh sebab itu, yang tepat
untuk menyelenggarakannya adalah Departemen Agama sebab Menteri Agama yang
lebih tahu tentang kebutuhan pendidikan agama bukan Menteri pendidikan dan
Kebudayaan (Wirosyukarto, 1996: 88). Dengan memperhatikan aspirasi umat Islam
di atas, maka dengan ini pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri mengenai peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Ketiga menteri itu
adalah menteri pendidikan, menteri dalam negeri, dan menteri agama. Tujuan
lahirnya SKB Tiga Menteri adalah untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan
dihapuskannya system pendidikan madrasah. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan pada
sidang Kabinet pada tanggal 26 Nopember 1974.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga
Menteri dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap
eksistensi madarasah dan sekaligus merupakan langkah strategis untuk menuju
tahapan integrasi madrasah ke dalam system pendidikan keagamaan atau lembaga
penyelenggaraan kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidkikan
yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar.
4. KEDUDUKAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Kajian historis seperti yang
diungkapkan terdahulu bahwa pendidikan islam di Indonesia, telah berlangsung
sejak masuknya islam ke Indonesia. Pendidikan itu pada tahap awal terlaksana
atas adanya kontrak antara pedagang atau mubaligh dengan masyarakat sekitar,
bentuknya lebih mengarah kepada pendidikan informal. Setelah berdiri
kerajaan-kerajaan islam di Indonesia maka pendidikan islam tersebut berada di
bawah tanggung jawab kerajaan islam. Dan pendidikan tidak hanya berlangsung
dilanggar-langgar atau masjid, tetapi ada yang dilaksanakan di lembaga
pendidikan pesantren.[6]
Masuknya kaum penjajah barat, memisahkan
pendidikan islam, dengan pendidikan Barat. Pendidikan Barat berada pada alur dan
jalur binaan pemerintah dengan fasilitas yang memadai, sedangkan pendidikan
islam terlepas dari tanggung jawab
pemerintah kolonial. Kenyataanya membuat ada dua generasi yang berbeda
orientasinya. Pertama, pendidikan islam yang ketika itu dilaksanakan di
pesantren orientasinya keakhiratan, kedua, pendidikan Barat orientasinya adalah
keduniaan. Sebetulnya perbedaan yang mencolok bukan hanya terletak kepada perbedaan
kedua orientasi itu, tetapi lebih dari itu pemerintah kolonial Belanda tidak
menempatkan pendidikan Islam sebagai bagian dari perhatian mereka. Tidak
memasukkan pendidikan Islam dalam system pendidikan kolonial Belanda, bukan
hanya itu bahkan pendidikan agama pun tidak diberikan di sekolah-sekolah
pemerintah.[7]
5. ORIENTASI PELAKSANAN PENDIDIKAN AGAMA
Dasar pendidikan yang paling
utama adalah Pancasila dan UUD 1945, dasar pendidikan ini secara tidak langsung
mengharuskan kita untuk menyelenggarakan proses pendidikan nasional yang
konsisten dan secara integralistik menuju ke arah pencapaian tujuan akhir.
Terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas unggul yang
berkembang dan tumbuh diatas pola kehidupan yang seimbang antara lahiriah dan
bathiniyah. Jalan menuju tujuan tersebut adalah tidak lain adalah melalui
proses pendidikan yang berorientasi kepada hubungan tiga arah yaitu hubungan
anak didik dengan Tuhannya, dengan masyarakatnya dan dengan alam sekitarnya.
a. Hubungan dengan Tuhannya menghendaki adanya
konsepsi ketuhanan yang telah mapan dan secara pasti dijabarkan dalam bentuk norma-norma ubudiyah mahdzah
yang wajib ditaati oleh anak didik secara syar’i.
b. Hubungan dengan masyarakatnya memerlukan
norma-norma dan aturan-aturan yang mengarahkan proses hubungan antara sesama
manusia bersifat lentur dalam konfigurasi rentangan tata nilainya, tapi tidak
melanggar atau merusak prinsip-prinsip dasarnya yang absolute, dalam arti tidak
cultural relativistic. Seluruh lapangan hidup manusia adalah merupakan arena
dimana hubungan social dari interpersonal terjadi sepanjang hayat, termasuk
lapangan hidup iptek.
c. Hubungan dengan alam sekitarnya menuntut adanya
kaidah-kaidah yang mengatur dan mengarahkan kegiatan manusia didik dengan bekal
ipteknya dalam penggalian, pemanfaatan, dan pengolahan kekayaan yang
menyejahterakan kesadaran terhadap bahaya arus balik sanksi alam, akibat
pengurasan habis-habisan terhadap kekayaan alam melebihi kapasitas alamiahnya.[8]
6. MODEL-MODEL DAN METODE DALAM PENDIDIKAN AGAMA
Metode sebagai salah satu sarana penting dalam
proses pendidikan agama juga harus dikaji dan dikembangkan sejalan dengan
tuntutan perkembangan jiwa anak didik/ remaja agar mampu memungkinkan dirinya
dalam arena kompetisi kehidupan modern dimana didalamnya penuh tantangan dan
pertentangan nilai-nilai etik–sekularistik dan nilai sosialistik religius atau
nilai–nilai relativisme cultural yang berubah-ubah dengan nilai-nilai
absolutisme agama yang konstan dan stabil. Metode pendidikan yang hanya
menitikberatkan pada kemampuan verbalistik harus diubah menjadi kemampuan
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang merentang antara yang paling
wajib atau halal sampai kepada hal yang paling terlarang (haram) dalam 5
kategorinya. Metode pendidikan agama yang menggunakan pendekatan kognitif,
afektif, dan psikomotorik sendiri yang satu sama lain terpisah berdiri sendiri
dalam mengembangkan potensi keagamaan perlu dilakukan modifikasi dengan
mengintegrasikan ketiga-tiganya ke dalam satu pola kemampuan mengamalkan dalam
perilaku yang mengacu kepada kebutuhan pembangunan masyarakatnya.[9]
Pendidikan Agama selain harus menginternalisasikan
dan mentransformasikan nilai-nilai keagamaan yang berpusat pada kemampuan
efektif emosional, sehingga sumber kekuatan keimanan dan ketuhanan bermukim di
dada (di hati), Pendidikan agama juga harus dapat menggerakkan intelektualitas
yang berpusat di dalam rasio( di kepala) sehingga mampu mengembangkan kemampuan
kognitif untuk menggali kebenaran adanta Tuhan beserta ajaran-ajarannya dari
kandungan ciptaan-Nya yang terjabar dalam fenomena alamiah (kauniah). Dari
kedua pusat kemampuan inilah, manusia didik dapat mencapai makrifat kepada
Allah Swt dan atas kedua pusat kemampuan tersebut terjadi proses interaktif
yang seimbang menuju kea rah terbentuknya perilaku lahiriah yang mengacu kepada
orientasi kehidupan yang hasanah dunia ukhrawi.
Metode yang diperlukan untuk mendorong kedua
kemampuan tersebut berkembang adalah metode yang bersifat motivatif dan
persuasif terhadap minat dan perhatian manusia didik untuk memikirkan
(merefleksikan) dan merasakan makna-makna yang terkandung dalam gejala kauniah
sebagai ciptaan Allah SWT. Minat dan perhatian tersebut dapat ditumbuhkan
melalui proses dialogis antara manusia didik dengan pendidik agama, bukan
melalui metode verbalistik (menghafal bahan pelajaran) atau metode pidato,
ceramah seperti yang masih dipraktikkan oleh kebanyakan guru agama di dunia
Islam sekarang.
Untuk mengembangkan pikiran dan perasaan
manusia didik dalam proses kependidikan agama itu, perlu didesain model
kurikulum yang dinamis dalam substansi/materi, menggerakkan pendidik dan
manusia didik yang secara politik-politiknya dapat dikemukakan sebagai berikut
:
1. Subtansi / materi pelajaran lebih dipusatkan
pada permasalahan kehidupan sosio-kultural masa kini yang perspektif ke arah masa depan, yang mendorong minat dan
perhatian manusia didik untuk mengkonsepkan tujuan dan nilai-nilainya yang
inheren dengan tuntunan Allah.
2. Posisi pendidikan, harus mampu menciptakan
situasi komunitas yang dialogis yang mengandung interdependency antara dirinya
dengan manusia didik.
3. Manusia didik dalam proses belajar-mengajar
aktif melakukan komunikasi yang dialogis dengan pendidik, teman sebaya dan alam
sekitarnya.
Model kurikulum yang diuraikan secara singkat
diatas memang memerlukan formulasi yang kritikal terhadap kurikulum pendidikan
agama yang telah ada sekarang yang dilaksanakan berdasarkan pendekatan PPSI
yang berorientasi kepada dan efisiensi dan efektifitas belajar mengajar.[10]
KESIMPULAN
Pendidikan
merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan
berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggug jawab bersama antara
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujaunnya
perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi.
Dengan
demikian strategi pendidikan agama di semua lingkungan pendidikan tidak hanya
bertugas memotivasi kehidupan dan mengeliminasi dampak negatif pembangunan,
melainkan juga harus mampu mengintealisasikan nilai-nilai dasar yang bersifat
absolut dari Tuhan ke dalam pribadi utuh yang mampu menjadi filter dan
selektor, sekaligus penangkal terhadap dampak negatif dari dalam proses maupun dari
luar proses pembangunan nasional.
Untuk
tujuan itulah pendidikan agama diarahkan pada terbentuknya manusia Indonesia
beridentitas dan berkepribadian Pancasialis, moralitas agamis yang kondusif
serta ketegaran dan keteguhan pribadi dalam menghadapi pasang surut pembangunan
bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H. Muzayyin,
Prof. M. Ed. 2003. Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Daulay, Haidar Putra, Prof.
dr. MA. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islan di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Djamaludin. 1999.
Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaa Setia.
Arifin, M. 1995. Kapita
Selekta Pendidikan (lslam dan Umum). Jakarta: Bumiaksara.
[1]
http://antoniyuzar.wordpress.com/2009/07/27/pendidikan-islam-dlm-sistem-pendidikan-nasional-tinjauan-terhadap-perjalanan-sistem-pendidian-islam.
[2] Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaa
Setia, 1999), h. 91-94
[3] Prof. H. Muzayyin Arifin, M. Ed, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003) hal. 205
[4] Prof. H. Muzayyin Arifin, M. Ed, Op. Cit, h. 205
[5] http://antoniyuzar.wordpress.com/2009/07/27/pendidikan-islam-dlm-sistem-pendidikan-nasional-tinjauan-terhadap-perjalanan-sistem-pendidian-islam.
[6] Prof. dr. Haidar Putra daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaharuan Pendidikan Islan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007) hal.
159-160
[7] Prof. dr. Haidar Putra daulay, MA, Op. Cit, hal. 160
[8] Ibid, 210
[9] prof. H.M arifin, M.Ed. kapita selekta pendidikan (islam dan umum),
(jakarta: bumi aksara, 1995), hlm.88
[10] ibid,, h. 137-138.
0 komentar:
Post a Comment