BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ilmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar
dari sesuatu agama. Di dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan yang tentang
perbandingan antara aliran-aliran serta ajaran-ajarannya. Dari perbandingan
antar aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar
paham aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita memahami maksud dari segala
polemik yang ada.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang
perbandingan antara aliran-aliran yang ikut berperan dalam ilmu kalam seperti
pembahasan di bawah ini.
1. Apa pendapat
aliran-aliran dalam Islam tentang wahyu dan akal?
2. Apa pendapat
aliran-aliran dalam Islam tentang pelaku dosa besar?
3. Apa pendapat
aliran-aliran dalam Islam tentang sifat-sifat Tuhan?
4. Apa pendapat
aliran-aliran dalam Islam tentang iman dan kufur?
5. Apa pendapat aliran-aliran dalam Islam tentang
perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
C. Tujuan
Dari penjelasan makalah ini penulis bertujuan untuk
memperdalam dalam pemahaman ilmu kalam khususnya aliran-aliran dalam Islam
serta menambah keimanan pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
BAB II
PERBANDINGAN
ANTARA ALIRAN
Sejak zaman Rosulullah SAW, Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada umatnya
bahwa Islam akan terbagi ke dalam 73 golongan. Sabda Rosulullah SAW:
اِنَّ بَنِى اِسْرَائٍلَ تَفَرَّ قَتْ ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِيْنَ مِلَةَ وَتَفْتَرِقُ اُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً,
كُلُّهُمْ فَبِالنَّارِ اِلاَّمِلَّةً وَاحِدَةً, قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَارَسُولَ
اللهِ قَالَ مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِيْ
Artinya : Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72
golongan dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka
kecuali 1 golongan, mereka bertanya: Siapakah satu golongan itu ya Rosulallah?,
Rosulullah menjawab: mereka itu yang bersamaku dan sahabat-sahabatku (HR. Tirmidzi)
Diantara aliran-aliran dalam Islam yang ada, memiliki perbedaan dalam
pendapat diantaranya:
A. Wahyu dan
akal
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat
diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas
seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan
buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan.
Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Berbeda dengan Mu'tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal
memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara
berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut diperlukan
wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa wahyu, manusia tidak
akan tahu.
Golongan maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui
adanya Tuhan kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan
buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan
meninggalkan buruk, karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya.
Golongan maturidiyah bukhara
sependapat dengan kaum asy’ariyah[1]
B. Pelaku dosa
besar
1. Menurut
aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas
dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki
pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa
orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu'awiyah, amr bin
al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
Artinya:
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya
(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh
orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua
sub sekte khwarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka
selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang
lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa
saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka.
Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah
beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar
dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
2. Menurut
aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar
dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis
besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat dikategorikan
dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.
Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang
ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang
ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang
menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak
keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah
moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi
kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada
ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.
3. Menurut
aliran Mu'tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar
dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu'tazilah tidak menentukan
status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin
atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah
baial manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi
tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan
belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya.
Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan
orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu'tazilah, seperti
wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik
yang bukan mukmin atau kafir.
4. Aliran
Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil
ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah
(ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri.
Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang
mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu
dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak
meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila
ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu
bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan
singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan
murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa
besar.
5. Aliran
Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand
maupun bukhara ,
sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya
keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat
bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih
dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika
menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi
tidak kekal didalamnya.
6. Aliran
Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan
dosa besar akan kekal di dalam neraca, jika ia belum tobat dengan tobat yang
sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu'tazilah.
Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai hubungan dengan
zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin
atho’.[2]
C. Sifat-sifat
Tuhan
1. Menurut
aliran Mu'tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu'tazilah dan kaum asy’ariyah
dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau
tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya
dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham banyak
yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of eternals). Dan ini
selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polyteisme. Suatu hal yang tak
dapat diterima dalam teologi.
Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu'tazilah mencoba
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat. Ini berarti bahwa Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai
kekuatan dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat
dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan
dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
2. Menurut
Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan
dengan Mu'tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut
aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat,
karena perbuatan-perbuatan nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan
sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.[3]
3. Aliran
Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan
alasy’ari, seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti
sama’, basher dan sebagainya. Walaupun begitu pengertian al-maturidi tentang
sifat berbeda dengan alasy’ari. Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan
sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah
(ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.
Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat cenderung
mendekati paham Mu'tazilah. Perbedaannya almaturidi mengaku adanya sifat-sifat
sedangkan al-Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
4. Aliran
Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa
bersifat tahu, namun adapula sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak
bersifat tahun terhadap sesuatu sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki
sesuatu, ia pun bersifat tahu, jika dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu,
maka Allah berkehendak menurut merek adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan
(taharraka harkah), ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap
sesuatu itu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu
yang tidak ada.[4]
D. Iman dan
kufur
1. Aliran
Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu
dosa besar agar dengan demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan
pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih
mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman,
2 orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan orang-orang
yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan
wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.[5]
Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan iman
dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang
tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang mukmin, dengan
demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang
timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah
pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.[6]
2. Aliran
Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala
ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti
menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam
pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka
yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun
disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang
dilakukannya.[7]
3. Aliran Mu'tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan
dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia
dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal
perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij.[8]
4. Aliran
Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman
secara esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu).
Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil
arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun
yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan
utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini
merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia
mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.[9]
5.
Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan lidah,
dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam
hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah.
Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. yang
penting tasdid dan ikrar.
E. Perbuatan
Tuhan dan perbuatan manusia
1. Aliran
Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas perbuatannya
yang menentukan perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak
berdaya sama sekali untuk mewujudkan perbuatannya baik atau buruk.
Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak berdaya,
bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu.
Dalang manusia adalah Tuhan, ini dianggap paham Jabariyah yang dianggap
moderat, perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia
punya andil juga dalam dalam mewujudkan perbuatannya.
2. Aliran
Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak atau
memilih) dan qudrah (kemampuan untuk berbuat). Menurut paham ini Allah SWT
membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut.[10]
3. Aliran Mu'tazilah
Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan paham
Qadariyah untuk perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu
kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia seperti kewajiban Tuhan menepati
janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan mengirim Rasulrasul- Nya untuk petunjuk kepada
manusia dan lain-lain.[11]
4.
Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan
qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari menggunakan paham
kasb yang dimaksud dengan al-Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan
perbuatan Tuhan. Artinya apabila
seseorang ingin melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika
sesuai dengan kehendak Tuhan.
5. Aliran
Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya adalah
kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas kerelaan
Tuhan karena Tuhan tidak menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam
aliran maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.
F. Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan
1. Aliran
Mu'tazilah
Mu'tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa
Tuhan itu adil dan tidak mungkin bebuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada
hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya,
secara lebih jelas aliran Mu'tazilah mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya
tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya Mu'tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)
Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
2. Aliran
Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan untuk
berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan
karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain.
Landasan surat
al-Buruj ayat 16
Maha Kuasa berbuat apa yang
dikehendaki-Nya.
3. Aliran
Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand , dibatasi oleh
keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah
baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajibankewajiban hanya
terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah.
Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan
segala-galanya tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada
larangan bagi Tuhan. Tampaknya aliran maturidiyah bukhara lebih dekat dengan asy’ariyah.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Kaum
Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal
manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai
makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu
turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan
yang baik.
Ciri yang
menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan
ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar.
Kaum
asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu'tazilah mereka dengan
tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut aliran asy’ariyah sendiri
tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan
nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan
bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Menurut sub
sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan
terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak
keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kehendak
mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand ,
dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala
perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan
kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan
Mu'tazilah.
DAFTAR
PUSTAKA
DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu
Kalam, Pustaka Setia Bandung :
2006.
Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah
Analisis Pebandingan UI Press, Jakarta :
1986
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja
grafindo Persada. Jakarta :
1996:
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja
Grafindo Persada Jakarta :
1993.
[2] DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar,
M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung :
2006. hal. 133-139
[3] Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah
Analisis Pebandingan UI Press, Jakarta :
1986 hal. 135-136
[4] DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar,
M.Ag. Op. Cit. Hlm. 177-179
[5] Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar
Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta :
1996. Hlm. 98
[6] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-aliran sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta : 2006, UI press. Halm. 147
[7] DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar,
M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung :
2006. hal. 144-145
[8] Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid.
Raja Grafindo Persada Jakarta :
1993. hal. 157
[9] DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar,
M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung :
2006.
[10] Drs. H. M. Yusran Asmuni. Op.Cit. hal.
159-160
[11] Harun Nasution. Op.Cit. hal 128
[12] Drs. Abd. Rozak. M.Ag. Drs. Rosihon
Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam Op. Cit. hal. 182-187
0 komentar:
Post a Comment