A.
PENGERTIAN ‘AZIMAH DAN RUKHSHAH
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan
:
مَا شُرَ عَ مِنَ اْﻷَ حْكَمِ الْكُلِّيَّةِ إِبْتِدَاءً
Hukum yang ditetapkan Allah
pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Kata-kata
“ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada hamba. Hukum ini tidak didahului
oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang
terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan
demikian hukum ‘azimah ini brelaku sebagai hukum pemula dan sebagai
pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.
Kata-kata
“hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini mengenadung arti berlaku untuk semua
mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam
semua situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat, puasa, haji, dan kewajiban lainnya.[1]
Dengan demikian
hukum azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah kepada seluruh
hamba-Nyasejak semula. Artinya belum ada disyariatkannya seluruh mukalaf wajib
mengikutinya,[2] seperti
sembahyang lima. Sembahyang lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap
ketika dan keadaan, asal saja orang itu masih dipandang cukup kuat untuk
mengerjakannya. Hukum wajib semabhayng lima itu, hukum ‘azimah namanya.[3]
Sedangkan menurut
para ulama ushul fiqh tentang rukhshah ialah :
اَلْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلافِ الدَّلِيْلِ لِعًُذْرٍ
“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan
dalil, karena adanya uzur”
Kata-kata “hukum”
merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit
(berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus brdasarkan dalil
yang ditetapkan pembuat hukum yang meyalahi dali yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata
“meyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang
mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah, sesuatu yang memang pada
dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan makan dan
minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada.
Kata-kata “dalil”
yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup
rukhshah untuk melakukan prebuatan yang ditetapkan dengan dalil yang
menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang
menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb (sunat) seperti meninggalkan shalat
jum’at karena hujan dan lainnya.[4]
Hukum rukhshah
dikecualikan dari hukum ‘azimah yang uum berlaku selama ada uzur yang berat dan
kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah ‘azimah.
Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum
ini datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan
seperti dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa
sembahyang dhuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat. Makan bangkai di kala
lapar, tak ada makanan yang lain, semabhyang dashar di dalam safar, dinamai :
hukum rukhshah.[5]
Asy Syathibi
menetapkan menetapkan bahwa : hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak
dimestikan menjalankan rukhshah, tidak wajib menjalankannya. Demikianlah hal
menjalankan hukum rukhshah, bila diingat, bahwa hukum rukhshah, hukum yang
hanya dibolehkan.
Dan banyak dalil yang
menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah Swt :
“.
. .maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...”(QS.
Al Baqarah : 173)
Akan tetapi
diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu : bila rukhshah
itu untuk melawan sesuatu kesuakaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita
diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan
kita berbuka, karena berbuka itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bil
aberpuasa dalam safar itu, mengakibatkan kesukaran kita dituntut menjalan
rukhshah, tak boleh lagikita menjalankan ‘azimahnya.[6]
Bersabda Nabi Saw:
لَيْسَ
مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ (رزاه احمد)
“Tidak dipandang
kebjaikan berpuasa di dalam safar”. (HR. Ahmad).
Dengan
membandingkan pengertian ‘azimah dan rukhshah secara sederhana dapat dikatakan
bahwa ‘azimah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan secar aumum
dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau sunat,bak larangan itu untuk
haram atau makruh, sedangkan rukhshah adalah keringanan dan kelapangan yang
diberikan kepada orang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.[7]
a. Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi
kepada dua, yaitu rukhshah memperbuat dan rukhshah meninggalkan.
1) Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan, dalam bentuk ini
asal perbuatan adalah terlarang dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azimahnya.
Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang menjadi boleh
hukunya. Umpamanya boleh melakukan perbuatan haram karena darurat seperti
memakan daging babi dalam keadaan terpaksa. Contoh melakukan perbuatan haram
karena hajat umpamanya melihat aurat bagi calon suami yang sedang meminang
calon istri dalam batas yang tertentu. Pada dasarnya hukum melihat aurat itu
adalah haram berdasarkan ayat Alqur’an surat Al-Nur ayat 30. Untuk kekalnya
jodoh, kedua belah pihak sepatutnya saling mengenal. Untuk maksud itu
diperkenankan keduanya saling melihat. Demikian pula dokter laki-laki melihat
atau memegang pasiennya yang perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan.
2) Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan
perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib atau nadb
(sunnat). Dalam bentuk asalnya, hukunya adalah wajib atau sunnat. Tetapi dalam
keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila
dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. Dalam hal ini dibolehkan dia
meninggalkannya.
Umpamanya kebolehan meninggalkan
puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan firman Allah dalam surat al
Baqarah (2): 184:
Dalam bentuk lain umpamanya keharusan
shalat empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat dalam keadaan tertentu, yaitu
dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam al Nisa’ (4): 101:
Termasuk pula ke dalam ruskhshah
ditinjau dari segi hukum asalnya shalatmu.
3) Ruskhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku
terhadap umat sebelum Islam yang dinilai terlalu berat dilakukan umat Nabi
Muhammad, sebagaimana dipahami dari firman Allah surat al Baqarah (2):
286:
Umpamanya membayar zakat yang
kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk tobat; memotong pakaian
yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya; dan keharusan sembahyang
dalam mesjid yang berlaku dalam syari’at Nabi Musa. Bila diperhatikan
keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku sebelumnya,
lebih tepat disebut nasakh; meskipun demikian dalam artian luas dapat pula
disebut ruskhshah.
4) Ruskhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk
akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Adanya ruskhshah ini
disebabkan oleh kebutuhan umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah yaitu
menukar kurma basah dengan kurma kering dalam ukuran yang berbeda padahal
keduanya satu jenis. Hal ini menyalahi ketentuan umum dalam tukar menukar
barang yang sejenis dalam ukuran yang berbeda. Contoh lain adalah jual beli saham.
Hal ini menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada
di tangan.
Kedua bentuk mu’amalah ini diruskhshahkan
karena kalau tidak akan menyulitkan dalam kehidupan umat.
b. Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang
diberikan. Dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk:
1) Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya
meninggalkan shalat jum’at, haji, ‘umrah dan jihad dalam keadaan udzur.
2) Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban; seperti meng-qashar
shalat empat raka’at menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam
perjalanan.
3) Keringanan dala bentuk mengganti kewajiban; seperti mengganti
wudlu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air; mengganti kewajiban
berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat dalam keadaan
tidak mampu; kewajiban mengganti puasa wajib dengan memberi makan fakir miskin
bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa.
4) Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban,
seperti pelaksanaan shalat zhuhur dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir
karena dalam perjalanan. Menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu
sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam perjalanan.
5) Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban;
seperti membayar zakat fitrah semenjak awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya
adalah pada akhir Ramadhan. Mendahulukan mengerjakan shalat ashar pada waktu
zhuhur dalam jama’ taqdim di perjalanan.
6) Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban; seperti cara-cara
pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat
khauf.
7) Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram
dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur, seperti dijelaskan diatas.[9]
C.
HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH
Pada dasarnya ruskhshah
itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum azimah
dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”, baik dalam
mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh.
Namun dalam hal menggunakan hukum ruskhshah bagi orang yang telah
memenuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama
berpendapat bahwa hukum menggunakan ruskhshah itu tergantung kepada
bentuk udzur yang menyebabkan adanya ruskhshah itu. Dengan
demikian menggunakan hukum ruskhshah dapat menjadi wajib seperti memakan
bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan yang halal, sedangkan ia khawatir
seandainya tidak menggunakan ruskhshah akan mencelakakan dirinya. Hukum ruskhshah
ada pula yang sunat seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit
atau dalam perjalanan.
Di samping membagi
hukum rukhshah itu kepada wajib, sunah dan mubah dengan menyangggah
argumentasi al-Syathibi, Jumhur Ulama juga mengemukakan argumen sendiri.
Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen dan jawaban yang dipergunakan serta
disampaikan oleh al-Syathibi, yaitu:
1.
Kata rukhshah, berarti memudahkan atau
meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan wajib atau nadh selama
perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadh itu lebih mudah dan
lebih ringan.
2.
Rukhshah dan ‘azimah adalah bentuk pembagian lain
dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku
atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut ‘azimah;
bila menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.[10]
KESIMPULAN
Hukum
apabila dilihat dari segi berat atau ringannya, terbagi menjadi dua, ‘azimah
dan rukhshah:
1.
‘Azimah
Ialah
hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf dan dalam
semua keadaan dan waktu.
2.
Rukhshah
Ialah peraturan tambahan yang dijalankan
berhubung dengan hal-hal yang memberatkan sebagai pengecualian dari hukum-hukum
yang pokok.
Daftar Pustaka
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan:
STAN Press Pekalongan
Riva’i, Muhammad. 1995. Ushul Fiqh. Bandung:
PTAL MA’Arif
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid I.
Jakarta; Logos Wacana Ilmu
Ash Shidiqy, Teuku Muhammad Hasb. 1997. Pengantar
Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
[1]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Usuhul Fiqh Jilid I (jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), h. 321.
[3]
Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang : PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 479.
[4]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 322.
[5]
Teuku Muhammad Hasby Ash-Shidieqy, op.cit.,
h. 479.
[6]
Ibid., h. 480.
[7]
Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, op.cit., h. 323.
[8]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 321.
[9]
Ibid., h. 326-327.
[10]
Ibid, h. 331
0 komentar:
Post a Comment