Tuesday 14 May 2013

‘AZIMAH DAN RUKHSHAH



A.    PENGERTIAN ‘AZIMAH DAN RUKHSHAH
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :
مَا شُرَ عَ مِنَ اْﻷَ حْكَمِ  الْكُلِّيَّةِ إِبْتِدَاءً
Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan demikian hukum ‘azimah ini brelaku sebagai hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.
Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini mengenadung arti berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat,  puasa, haji, dan kewajiban lainnya.[1]
Dengan demikian hukum azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-Nyasejak semula. Artinya belum ada disyariatkannya seluruh mukalaf wajib mengikutinya,[2] seperti sembahyang lima. Sembahyang lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap ketika dan keadaan, asal saja orang itu masih dipandang cukup kuat untuk mengerjakannya. Hukum wajib semabhayng lima itu, hukum ‘azimah namanya.[3]
Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh tentang rukhshah ialah :
اَلْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلافِ الدَّلِيْلِ لِعًُذْرٍ
Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus brdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang meyalahi dali yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “meyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah, sesuatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada.
Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan prebuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb (sunat) seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya.[4]
Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang uum berlaku selama ada uzur yang berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah ‘azimah. Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum ini datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan seperti dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa sembahyang dhuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat. Makan bangkai di kala lapar, tak ada makanan yang lain, semabhyang dashar di dalam safar, dinamai : hukum rukhshah.[5]
Asy Syathibi menetapkan menetapkan bahwa : hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak dimestikan menjalankan rukhshah, tidak wajib menjalankannya. Demikianlah hal menjalankan hukum rukhshah, bila diingat, bahwa hukum rukhshah, hukum yang hanya dibolehkan.
Dan banyak dalil yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah Swt :
 . . .maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...(QS. Al Baqarah : 173)

Akan tetapi diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu : bila rukhshah itu untuk melawan sesuatu kesuakaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan kita berbuka, karena berbuka itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bil aberpuasa dalam safar itu, mengakibatkan kesukaran kita dituntut menjalan rukhshah, tak boleh lagikita menjalankan ‘azimahnya.[6]
Bersabda Nabi Saw:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ (رزاه احمد)
Tidak dipandang kebjaikan berpuasa di dalam safar”. (HR. Ahmad).
Dengan membandingkan pengertian ‘azimah dan rukhshah secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘azimah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan secar aumum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau sunat,bak larangan itu untuk haram atau makruh, sedangkan rukhshah adalah keringanan dan kelapangan yang diberikan kepada orang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.[7]

B.     MACAM – MACAM RUKHSHAH[8]
a.       Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, yaitu rukhshah memperbuat dan rukhshah meninggalkan.
1)      Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan, dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azimahnya. Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang menjadi boleh hukunya. Umpamanya boleh melakukan perbuatan haram karena darurat seperti memakan daging babi dalam keadaan terpaksa. Contoh melakukan perbuatan haram karena hajat umpamanya melihat aurat bagi calon suami yang sedang meminang calon istri dalam batas yang tertentu. Pada dasarnya hukum melihat aurat itu adalah haram berdasarkan ayat Alqur’an surat Al-Nur ayat 30. Untuk kekalnya jodoh, kedua belah pihak sepatutnya saling mengenal. Untuk maksud itu diperkenankan keduanya saling melihat. Demikian pula dokter laki-laki melihat atau memegang pasiennya yang perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan.
2)      Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib atau nadb (sunnat). Dalam bentuk asalnya, hukunya adalah wajib atau sunnat. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya.
Umpamanya kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan firman Allah dalam surat al Baqarah (2): 184:
Dalam bentuk lain umpamanya keharusan shalat empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat dalam keadaan tertentu, yaitu dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam al Nisa’ (4): 101:
Termasuk pula ke dalam ruskhshah ditinjau dari segi hukum asalnya shalatmu.
3)      Ruskhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum Islam yang dinilai terlalu berat dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagaimana dipahami dari firman Allah surat al Baqarah (2): 286:
Umpamanya membayar zakat yang kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk tobat; memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya; dan keharusan sembahyang dalam mesjid yang berlaku dalam syari’at Nabi Musa. Bila diperhatikan keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku sebelumnya, lebih tepat disebut nasakh; meskipun demikian dalam artian luas dapat pula disebut ruskhshah.
4)      Ruskhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Adanya ruskhshah ini disebabkan oleh kebutuhan umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah yaitu menukar kurma basah dengan kurma kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal ini menyalahi ketentuan umum dalam tukar menukar barang yang sejenis dalam ukuran yang berbeda. Contoh lain adalah jual beli saham. Hal ini menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada di tangan.
Kedua bentuk mu’amalah ini diruskhshahkan karena kalau tidak akan menyulitkan dalam kehidupan umat.

b.      Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan. Dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk:
1)      Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, haji, ‘umrah dan jihad dalam keadaan udzur.
2)      Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban; seperti meng-qashar shalat empat raka’at menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan.
3)      Keringanan dala bentuk mengganti kewajiban; seperti mengganti wudlu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air; mengganti kewajiban berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat dalam keadaan tidak mampu; kewajiban mengganti puasa wajib dengan memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa.
4)      Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat zhuhur dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan. Menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam perjalanan.
5)      Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban; seperti membayar zakat fitrah semenjak awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan. Mendahulukan mengerjakan shalat ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim di perjalanan.
6)      Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban; seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat khauf.
7)      Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur, seperti dijelaskan diatas.[9]

C.    HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH
Pada dasarnya ruskhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”, baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal menggunakan hukum ruskhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan ruskhshah itu tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya ruskhshah itu. Dengan demikian menggunakan hukum ruskhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan yang halal, sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan ruskhshah akan mencelakakan dirinya. Hukum ruskhshah ada pula yang sunat seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan.
Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada wajib, sunah dan mubah dengan menyangggah argumentasi al-Syathibi, Jumhur Ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh al-Syathibi, yaitu:
1.    Kata rukhshah, berarti memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan wajib atau nadh selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadh itu lebih mudah dan lebih ringan.
2.    Rukhshah dan ‘azimah adalah bentuk pembagian lain dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut ‘azimah; bila menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.[10]



KESIMPULAN

Hukum apabila dilihat dari segi berat atau ringannya, terbagi menjadi dua, ‘azimah dan rukhshah:
1.    ‘Azimah
Ialah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu.
2.    Rukhshah
Ialah peraturan tambahan yang dijalankan berhubung dengan hal-hal yang memberatkan sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.



Daftar Pustaka

Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan: STAN Press Pekalongan
Riva’i, Muhammad. 1995. Ushul Fiqh. Bandung: PTAL MA’Arif
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta; Logos Wacana Ilmu
Ash Shidiqy, Teuku Muhammad Hasb. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.



[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Usuhul Fiqh Jilid I (jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 321.
[2] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh (Pekalongan : STAIN Press Pekalongan, 2005), h.300.
[3] Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 479.
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 322.
[5] Teuku Muhammad  Hasby Ash-Shidieqy, op.cit., h. 479.
[6] Ibid., h. 480.
[7] Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, op.cit., h. 323.
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 321.
[9] Ibid., h.  326-327.
[10] Ibid, h. 331

0 komentar:

Post a Comment