Tuesday, 14 May 2013

Konsep Pendidikan Hamka


PENDAHULUAN

Buya Hamka merupakan tokoh pendidikan Islam yang dimana konsep pemikirannya sangat monumental dan begitu spektakuler di kalangan manapun. Beliau adalah seorang ulama pujangga dan tercakup dalam berbagai kualitas ketokohan dan keahlian. Beliau adalah seorang pencetus dan pemuka Islam, pejuang, patriot, wartawan, pengarang, sastrawan dan budayawan.
Beliau menyumbangkan pemikirannya di berbagai bidang terutama dalam pendidikan. Meskipun beliau dibesarkan dengan pendidikan tradisional yang kental akan nuansa adatnya (ketat), dan beliau mampu mengemas pendidikan yang ketat menjadi luwes tetapi tanpa menghilangkan ketradisionalannya. Selain itu, pandangan Buya Hamka mengenai tujuan pendidikan yaitu untuk kebahagaian dunia dan akhirat dengan penerapannya yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Dalam makalah ini akan dipaparkan bentuk-bentuk pemikiran Buya Hamka dalam bidang pendidikan.



PEMBAHASAN

A.  Riwayat HAMKA
“Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara”.Begitulah kata mantan Perdana Menteri Malaysia,Tun Abdul Rozak.Nama aslinya ialah Haji Abdul Malik Karim Amrulloh biasa disebut dengan HAMKA yang merupakan singkatan dari nama panjang beliau.[1]Beliau lahir di Maninjau,Sumatra Barat pada tanggal 16 Februari 1908 M/ 13 Muharrom 1326 H.Belakangan ia diberikan sebutan Abuya,yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi,abuya yang berarti ayahku atau orang yang dihormati.Ayahnya adalah Syech Abdul Karim ibn Amrulloh,yang dikenal dengan Haji Rosul dan merupakan pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau,sekembalinya dari Makkah pada 1906.[2]
Ia hidup dan berkembang dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem trilineal.Sejak kecil ia menerima dasar-dasar agama dari sang ayah.Pada usia 6 tahun,ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun,ia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya ia belajar mengaji al-Qur’an sampai khatam.
Waktu itu pelaksanaaan pendidikan masih bersifat tradisional,materi yang ada berupa pengajaran kitab-kitab klasik seperti nahwu,shorof,mantiq,bayan,fiqih,dan yang sejenisnya dengan menggunakan sistem hafalan.Meskipun tidak puas dengan sistemnya tersebut,ia tetap mengikutinya dengan baiknya dengan baik.
Beliau Sekolah Dasar “Maninjau sehingga Darjah Dua” kemudian padausia 10 tahun, ayahnya mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal pada masa itu seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.SurjopranotodanKiBagusHadikusumo. Sejak muda, Hamka dikenal sebagai seorang pengelana.Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh.
Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto,Ki Bagus Hadikusumo,RM Soerjopranoto,dan KH Fakhrudin.Hamka juga banyak mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.Selain dikenal sebagai ulama kharismatik,Hamka juga dikenal sebagai pujangga termashur.Sejak usia 17 tahun, ia sudah menulis roman berjudul Siti Rabiah.Aktivitas tulis menulis itu ditentang oleh keluarganya.Namun Hamka jalan terus untuk mencari jati dirinya dan berusaha keluar dari bayangan nama besar ayahnya.
Pada usia 30-an, ia tak langsung memilih menjadi ulama, meski ia sendiri termasuk muballig muda Muhammadiyah di kota Medan. Ia lebih suka bergelut di bidang jurnalistik bersama Abdullah Puar. Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti William James, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.[3]


B.     Pemikiran Hamkatentang Pendidikan.
Pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi 2 bagian yaitu:
1.      Pendidikan jasmani,pendidikan untuk pertumbuhan & kesempurnaan jasmani serta,
2.      Pendidikan ruhani,pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan& pengalaman yang didasarkan pada agama.

Keduanya memiliki kecenderungan untuk berkembang dengan melalui pendidikan,karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.Dalam pandangan Islam kedua unsur tersebut dikenal dengan istilah fitrah.Titik sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”.Fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan& tunduk mengabdi sebagai kholifah fi al-ardh maupun ‘abdulloh. Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati, & pancaindra yang terdapat pada jasad manusia.Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya,memahami fungsi kekhalifahannya,serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.[4]

1.      Pengertian dan Tujuan Pendidikan
   Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran.Menurutnya pendidikan adalah serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk mendidik membantu membentuk watak budi akhlak  dan kepribadian peserta didik,sedangkan pengajaran yaitu upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Keduanya memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama,sebab setiap proses pendidikan didalamnya terdapat proses pengajaran.Demikian sebaliknya proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengidengan proses pendidikan.[5]
Menurut Hamka ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikanIslam:
a.       Ta’lim:Aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnyadanpedomanperilakuyangbaik.
b.      Tarbiyah:Pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
c.       Ta’dib: Penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.
Dari ketiganya Hamka lebih condong dalam istilah Tarbiyah, karena menurutnya tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun horizontal (hubungan ketuhanan dan kemanusiaan).Adapun prosesnya adalah pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah.Dalam  pembahasan hal ini hampir sama dengan pemikiran Syed M.Naquib Al-Attas namun beliau lebih spesifik dalam ta’dib atau adab.
Adapun pandangan Hamka mengenai Tarbiyah yaitu:
a.       Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapaikedewasaan.
b.      Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
c.       Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
           Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.
Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki 2 dimensi yaitu bahagia dunia akhirat.Untuk mencapai hal tersebut dapat diperoleh melalui ibadah.Oleh karena itu,segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah.Dengan demikian tujuan pendidikan Islam  menurut Hamka sama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri,yakni untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah.Ia mengatakan bahwa ibadah adalah mengakui diri sebagai budak atau hamba Allah, tunduk kepada kemauan-Nya,baik secara sukarela maupun terpaksa.[6]
2.      Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Tugas pendidik secara umum adalah memantau  mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas,berakhlak mulia dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas.Dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian peserta didik diharapkan mampu mewujudkan tujuan hidupnya baik secara horizontal (kholifah fil ard) maupun vertikal (‘abd Allah).Dalam hal ini setidaknya ada tiga intitusi atau pihak yang ikut andil dalam bertugas dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan yaitu:
a.       Lembaga pendidikan informal
Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan akhlak dan pola pikir anak,dan hanya keluarga yang demokratis akan mampu mengembangkan dinamika secara maksimal.Orang tua memegang peranan penting bagi pembentukan kepribadian terutama akhlak seorang anak.Dalam hal ini orang harus menjadi contoh yang baik dan berakhlak sebelum membentuk karakter anak untuk mempunyai keprubadian yang baik.Adapun rambu-rambu untuk kedua oarang tua dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak yaitu:
a.       Mengajarkan anak untuk cepat bangun dan jangan banyak tidur.
b.      Menanamkan didikan akhlak yang mulia dan hidup sederhana.
c.       Mengajarkan cinta kasih dan kehidupan harmonis melalui cerita-cerita.
d.      Membiasakan untuk selalu percaya diri dan mandiri.
      Halini memang nampak sekali seperti adanya keterpaksaan namun bukan berarti sang orang tua berkuasa penuh dalam gerak anak,melainkan orang tua menuntun dan mengontrol agar kebebasan gerak potensi yang dimiliki anak terealisasikan secara maksimal.
b.      Lembaga pendidikan formal
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang tersusun secara terencana dan sistematis.Sekolah bertugas mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam peserta didik secara maksimal sehingga memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan fungsinya ditengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini seorang guru bertugas membimbing peserta didiknya untuk memiliki ilmu yang luas,berakhlak mulia,dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
c.       Lembaga pendidikan non formal
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang sangat luas dan berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak.Lembaga ini merupakan lembaga pendukung dalam pelaksanaan proses pendidikan secara praktis. Sesuai dengan fitrahnya yakni makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya interaksi  dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada disekitarnya. Eksistensinya yakni saling bekerja sama dan saling mempengaruhi antara satu dan yang yang lainnya.Melalui bentuk komunitas masyarakat yang harmonis, menegakkan akhlak nilai akhlak,dan hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam,akan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang tentram.Kondisi masyarakat yang seperti inilah yang merupakan ciri masyarakat ideal bagi terlaksananya pendidikan secara efekif dan dinamis.Oleh karena itu, memformulasikan sistem pendidikan diperlukan pendekatan psikologis dan sosiologis,dan pendekatan dilakukan dengan mengakomodir dan menyeleksi sistem nilai sosial (adat) serta dengan pendekatan ini pendidikan mampu memainkan perannya sebagai agent of change dan agent of social culture.[7]
3.    Syarat-Syarat Pendidik
Untuk mewujudkan proses pendidikan yang ideal, seorang pendidik dituntun memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Adil dan objektif.
b.      Berakhlakul karimah.
c.       Menyampaikan ilmu tanpa ada yang ditutupi.
d.      Menghormati keberadaan murid sebagai manusia yang dinamis.
e.       Memberikan ilmu sesuai dengan tempat waktu kemampuan dan perkembangan jiwa.
f.       Memperbaiki akhlak dengan bijaksana.
g.      Membimbing sesuai dengan tujuan pendidikan.
h.      Memberikan bekal ilmu agama &umum.
i.        Mengajari hidup teratur.
j.        Ikhlas dan tawadhu’.
k.      Membiasakan diri untuk membaca.[8]

4.    Tugas dan Tanggung Jawab peserta didik
Menurut Buya Hamka tugas dan tanggung jawab peserta didik ialah berupaya mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengatahuan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT melalui fitrah-Nya. Sebagai seorang yang berupaya mencari ilmu pengetahuan maka peserta didik dituntut untuk:
a.       Jangan putus asa.
b.      Jangan lalai.
c.       Tidak merasa terhalang karena faktor usia.
d.      Bertingkah laku sesuai dengan ilmu yang dimiliki.
e.       Memperbagus tulisan agar mudah dibaca.
f.       Sabar dan meneguhkan hati.
g.      Mempererat hubungan dengan guru.
h.      Khusyu’dan tekun.
i.        Berbuat baik pada orang tua dan abdikan ilmu untuk maslahat umat.
j.        Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah.
k.      Menganalisa fenomena alam semesta secara seksama dan bertafakur.[9]

5.    Materi dan Metode Pendidikan
Menurut Hamka materi pendidikan dapat dibagi menjadi empat bentuk,yaitu:
a.       Ilmu agama,seperti tauhid,fiqih,tafsir,hadits,nahwu,shorof,mantiq, dan lain-lain.Materi ini dimaksudkan untuk menjadi alat kontrol dan pewarna kepribadian peserta didik.
b.      Ilmu umum,seperti sejarah,filsafat,sastra,ilmu berhitung,falak,dan sebagainya.Dengan ini akan membuka wawasan keilmuan terhadap perkembangan zaman.
c.       Keterampilan,seperti olahraga berguna untuk membuat tubuhnya sehat dan kuat.
d.      Kesenian,seperti musik,menggambar,menyanyi,dan sebagainya,dimaksudkan agar peserta didik akan memiliki rasa keindahan dan akan memperhalus budi rasanya.[10]
Agar proses pendidikan bisa terlaksana secara efektif dan efisien, maka hendaknya perlu mempergunakan berbagai macam metode yang bisa mengantarkan peserta didik memahami semua materi dengan baik.
Pertama, metode secara umum diantaranya:
1.      Diskusi,proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.
2.      Karya wisata,mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial.
3.      Resitasi, memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.[11]
Kedua, metode Islami, di antaranya:
1.      Amar ma’ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jahat. Bertujuan agar tulus hati dalam memperjuangkan kebenaran dan menjadikan pergaulan hidup lebih sentosa.
2.      Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman materi pada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya.[12]

6.        Evaluasi pendidikan
Evaluasi merupakan tahap akhir yang dilakukan dalam proses pendidikan, bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar uantuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebagai landaasan berpijak aktivitas suatu pendidikan.Pandangan Hamka dalam evaluasi seperti para tokoh-tokoh pendidikan Islam lainnya yakni mengarah pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Evaluasi dapat dilakukan dengan memberikan beberapa tugas, seperti yang terdapat pada metode pembelajaran yang berupa resitasi. Ini merupakan  evaluasi yang dilakukan secara global atau yang biasa dilakukan secara umum. Sedangkan dalam pendidikan tauhid, evaluasi mengarah pada sesuatu yang menyadarkan diri (introspeksi diri) dimana syur(perasaan) sebagai barometernya.[13]




7.        Kurikulum
   Sebagai rencana pelajaran yang merupakan bentuk usaha peningkatan pendidikan, kurikulum terdiri dari 4 kelompok, yaitu :
1.      Agama, yang mencakup :
a.       Tafsir Al Quran
b.      Hadits & Mushtkahah Hadits
c.       Fiqih dan Ushul fiqih
d.      Tauhid Islam
e.       Tarikh Tasyri’ Islamy
f.       Tauhid / Ilmu Kalam
g.      Akhlak dan tasawuf
2.      Bahasa, dengan kajian :
a.       Bahasa Arab dengan alat-alatnya ,yakni Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Bayan, Mantiq (logika), Insya’, Tarjamah, Muhawarah, Khithabah dan Khath.
b.      Bahasa Belanda
c.       Bahasa Inggris
3.      Pengetahuan Umum, meliputi :
a.       Berhitung / Aljabar
b.      Ilmu Ukur (Handasah)
c.       Ilmu Bumi (Geografi)
d.      Ilmu Alam
e.       Ilmu Hayat (Hewan & Tumbuh-tumbuhan)
f.       Sejarah umum dan tanah air
g.      Ilmu Falak
4.      Keguruan/Dakwah dan Kepemimpinan
a.       Iilmu mengajar dan mendidik ( At Tarbiyah watta’lim)
b.      Ilmu Jiwa Umum dan Ilmu Jiwa Anak
c.       Muqaranah Al Adyan ( Perbandingan Agama)
d.      Organisasi dan Administrasi Muhamadiyah
e.       Muhadlarah atau pidato[14]

8.      Relevansi Pemikiran Hamka dengan pendidikan saat ini
Pemekiran Hamka tentang pendidikan di ilhami oleh keterkaitan norma agama, kebijakan politik, potensi peserta didik dan dinamika aspirasi masyarakat. Norma-norma tersebut mengacu pada landasan sistem nilai yang universal dan kemudian di jabarkan ke dalam kaidah-kaidah pendidikan islam yaitu, tanggung jawab manusia kepada Tuhan, perkembangan kekuatan potensial dan riil manusiawi, perkembangan masyarakat, dan pendayagunaan potensi peserta didik secara maksimal.[15]
Hamka mengemas pendidikan masa depan yang mencerminkan pendidikan yang mengingat masa lalu, melihat masa sekarang, dan menginginkan masa depan yang lebih baik. Hal ini terlihat bahwa pendidikan yang ditawarkan mengandung prinsip integralitas, relativitas, pendekatan sistem, meskipun dalam bentuk sedehana dan ekologis.
Melalui pemikirannya, Hamka memperlihatkan relevansi yang harmonis antara ilmu-ilmu agama dan umum. Eksistensi agama bukan hanya sekedar melegitimasi sistem sosial yang ada, melainkan juga perlu memperhatikan dan mengontrol perilaku manusia secara baik. Perilaku sistem sosial akan lebih hidup tatkala pendidikan yang dilaksanakan ikut mempertimbangakan dan mengayomi dinamika fitrah peserta didik serta mengintegralkan perkembangan ilmu-ilmu agama dan umum secara profesional. Dengan pendekatan seperti ini pendidikan akan dapat memainkan peranan nya sebagai motivator dan sekaligus pengendali sistem sosial (social control) secara efektif.[16]
Namun perlu diketahui bahwa sistem pendidikan saat ini cenderung berorientasi pada bidang kajian umum, sehingga pendidikan ini merupakan pendidikan sekuler-materialistik. Hal ini dapat terlihat pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan umum pasal 15 yang berbunyi, “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus”.[17] Dari sini terlihat jelas dalam pasal ini terdapat dikotomi pendidikan, yakni pendidikan umum dan agama. Pendekatan yang diambil pada sisitem pendidikan terkesan masih berorientasi pada kajian ilmu eksak dan sosial, serta kurang melakukan apresiasi dengan ilmu-ilmu agama.
Minimnya peran agama juga tampak jelas pada UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab X tentang kurikulum pasal 37 ayat (1). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman & bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.[18]Namun tidak dijelaskan mengenai bahan kajian secara umum, sehingga dipandang bahwa pendidikan agama kurang diperhatikan. Secara realitanya, pendidikan agama pada lembaga sekolah terutama  sekolah negeri, sebagian besar hanya memberikan jam mata pelajaran lebih sedikit daripada mata pelajaran umum. Fenomena ini tanpa disadari telah menggiring peserta didik yang “hampa” akan nilai-nilai religiusitas sebagai warna kepribadiannya.[19]
Denagn demikian, setidaknya sistem pendidikan yang diadopsi sekarang ini termotivasi dengan pemikiran Abuya Hamka tentang pendidikan. Sehingga mampu menyeimbangkan ilmu-ilmu agama dan umum, yang dimana ilmu-ilmu tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik mempunyai mempunyai jiwa spiritual sebagai makhluk yang mempunyai fitrah yang pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya[20], dan hal inilah yang mengantarkan bahwa pendidikan agama sangat penting untuk kehidupan.




PENUTUP

Kesimpulan
            Dari pemaparan dalam makalah di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi 2 bagian yaitu:
            Pertama, Pendidikan jasmani yaitu pendidikan untuk pertumbuhan & kesempurnaan jasmani.
            Kedua, Pendidikan ruhani yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan& pengalaman yang didasarkan pada agama.
Menurut Beliau juga ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam, yaitu Ta’lim, Tarbiyah, dan Ta’dib. Dan dari ketiganya Hamka lebih condong dalam istilah Tarbiyah, karena menurutnya tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun horizontal (hubungan ketuhanan dan kemanusiaan). Adapun prosesnya adalah pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah. Penjabaran dari pandangan Hamka mengenai Tarbiyah yaitu:
Pertama,menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan.
Kedua, mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
Ketiga,mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.



DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis & Syamsul Nizar. 2005.Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching.
http//pemikiran-pendidikan-islam-hamka.html
Narasi.2006. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: PT. Narasi.
Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus. 2011.  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Amarulloh.Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka.(Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun)


[1] Narasi, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (Yogyakarta: PT. Narasi, 2006), hal. 79
[2] Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 225
[3]http//pemikiran-pendidikan-islam-hamka.html,diakses pada 12 April 2012.
[4]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus, Op. Cit, hal. 229-230
[5] Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), hal.226
[6] Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus, Op. Cit, hal. 230
[7] Ramayulis & Syamsul Nizar, Op. Cit, hal 268-274
[8]Ibid, hal. 272-273
[9]Ibid, hal. 276-277
[10]Ibid, hal. 278-279
[11]Ibid, hal. 281-282
[12] Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus, Op. Cit, hal. 246
[13] Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus, Op. Cit, hal. 248
[14]Amarulloh.Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka.(Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun),hal 60-61
[15]Ramayulis & Syamsul Nizar,Op.Cit.,hlm 283
[16]Ibid.,hlm 284
[17]Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Sisdiknas
(Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), hlm.41
[18]Ibid, hlm.79
[19]Ramayulis & Syansul Nizar, Op.Cit.,hlm 285
[20]Syamsul Kurniawan& Erwin Mahrus Op.Cit.,hlm 229

0 komentar:

Post a Comment