Thursday, 16 May 2013

Bayi Tabung menurut Islam


BAB I
PENDAHULUAN

Pada pertengahan tahun 1978 masyarakat dunia sempat dikejutkan dengan keberhasilan percobaan controversial yang dilakukan oleh dokter Steptoe dan dokter Edwards, yaitu dengan lahirnya Louis Brown. Louis Brown adalah bayi montok dan normal yang merupakan hasil rekayasa bayi tabung. Berbagai disiplin ilmu mengomentari masalah ini dari sudut pandang masing-masing. Bidang kedokteran menyambut baik keberhasilan ini sebagai hal yang positif dan penelitian lajutan yang lebih unik semakin banyak dilakukan.
Louis Brown merupakan hasil konsepsi yang dipertemukan di dalam tabung gelas dari sel sperma dan sel ovum suami isteri John dan Lesley.
Di negeri kita masalah bayi tabung menjadi populer setelah lahirnya seorang bayi tabung pada awal tahun 1980. Sedang untuk jawa tengah seorang bayi tabung baru berhasil diupayakan pada tanggal 16 Agustus 1990 di RS Telogoyoso. Pada masa sekarang, bayi tabung mulai marak dikarenakan banyaknya pasangan suami isteri yang dudah bertahun-tahun menikah tetapi belum dikaruniai anak. Merekapun gelisah seiring dengan bertambahnya usia, namun, kegelisahan ini sedikit tertolong dengan munculnya teknologi bayi tabung.
Dengan perkembangan teknologi bayi tabung yang mulai dilirik sebagian masyarakat, ternyata, ini juga menimbulkan kontroversial dalam masyarakat, yaitu mengenai hukum bayi tabung dalam perspektif hukum Islam. Inilah kemudian yang kita angkat dalam makalah ini. Kami berharap melalui makalah ini, pembaca dapat mengetahui dan memahami hukum bayi tabung dalam perspektif hukum Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Bayi Tabung
Para ahli berbeda pendapat dalam mengartikan bayi tabung antara lain yaitu; bayi tabung menurut Prof. Sarwono diartikan mani seorang laki-laki yang dikumpulkan terlebih dahulu, lalu dimasukkan ke dalam alat kandungan seorang wanita yang kemudian dinamakan permanian buatan (insenmination articificialis). Kemudian H. Ali Akbar mengartikan bayi tabung ialah membuahi istri tanpa junub yang dilakukan dengan pertolongan dokter. Sedangkan Anwar dan Raharjo mengartikan bayi tabung ialah usaha jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dengan sel telur di luar tubuh (invitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi, hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu (embrio transfer) sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa. Oleh karena pembuahannya dilakukan di tabung gelas, maka lazim disebut bayi tabung atau dengan istilah lain inseminasi buatan.
Inseminasi buatan di masa kini tidak lagi hanya untuk menolong pasangan infertile bahkan sekarang motivasi percobaan bayi tabung adalah untuk mendapatkan anak super. Untuk maksud tersebut tidak lagi digunakan sperma suami dari wanita yang menginginkan anak, melainkan dari sperma laki-laki lain yang lazim disebut donor.
Untuk memenuhi permintaan wanita yang menginginkan sperma donor, maka didirikanlah bank-bank sperma. Misalkan di California berdiri bank sperma Escondido dan juga di Inggris, lebih jauh lagi mulai timbul inisiatif “ibu sewaan” (biring mother) yang pada prinsipnya menyediakan seorang wanita untuk mengandung hasil konsepsi inviltro tadi.
Di Indonesia masalah bank sperma mulai banyak dibicarakan setelah lahirnya bayi tabung pertama kali pada awal 1980. Menurut pengakuan Suma Praja, sampai tanggal 4 Oktober 1980 di Indonesia telah banyak anak-anak hasil inseminasi buatan yang berasal dari sperma donor.
Masalah-masalah tersebut merupakan persoalan serius yang membutuhkan penjelasan segera. Fenomena tersebut di masa mendatang akan membawa perubahan besar yang menyangkut moral, sosial, budaya, media dan agama.

B.       Aspek-aspek Bayi Tabung
Bayi tabung dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
1.      Aspek medis
Tindakan fertilisasi invitro ini tampaknya sederhana dan mudah dilakukan, tetapi kenyataannya masalah yang rumit dan memerlukan persiapan yang matang. Selain itu diperlukan juga sarana dan fasilitas yang memadai, orang yang ahli di bidangnya, serta memerlukan ketelitian yang tinggi.
Prosedur fertilisasi in vitro secara umum dapat dibagi menjadi beberapa tahapan:
a.       Seleksi dan persiapan pasien
b.      Stimulasi indung telur
c.       Penentuan saat pengambilan ovum
d.      Pengambilan ovum
e.       Persiapan ovum
f.       Persiapan sperma dan inseminasi
g.      Kultur embrio
h.      Transfer embrio
i.        Perawatan pasca transfer
Indikasi fertilisasi in vitro meliputi:
a.       Kerusakan saluran telur
b.      Infertilitas laki-laki
c.       Infertilitas idiopatik
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang yang cocok untuk mendapatkan tindakan fertilisasi in vitro adalah sebagai berikut:
a.      Umur wanita tidak boleh lebih dari 30 tahun
b.      Mempunyai status hormonal yang normal dengan ovulasi regular
c.      Setidak-tidaknya didapatkan satu indung telur yang normal dan dapat dicapai untuk melakukan aspirasi sel telur (ovum pick up)
d.     Yang terbaik adalah sperma normal atau parameter di atas normal
e.      Pasangan tersebut harus benar-benar bersedia bekerja sama dengan tim dokter yang menanganinya
2.      Aspek moral kejiwaan
Ditinjau dari segi kejiwaan, keberadaan bayi tabung dapat diterangkan menurut pendekatan perkawinan, anak, pelaksanaan dan kehadiran anak tabung tersebut di tengah masyarakat.
Dalam suatu perkawinan, masalah anak sangat potensial untuk timbulnya permasalahan. Sebagian besar orang beranggapan bahwa wanita baru sempurna fungsi kodratnya bila dia dapat melahirkan anak. Oleh karena itu, bagi pasangan yang belum atau tidak mempunyai keturunan akan menempuh berbagai berbagai upaya untuk mendapatkannya. Di antara upaya tersebut yaitu dengan metode bayi tabung. Meskipun untuk menetukan pilihan ini harus diperhatikan berbagai pertimbangan. Dari pendekatan anak, anak mempunyai dua nilai, yaitu nilai ekonomi dan nilai kultural.
Ditinjau dari pelaksanaan percobaan bayi tabung ini, pertimbangan psikologi perlu diperhatikan pada pasangan itu sendiri dan tim medis yang menanganinya. Bagi pasangan yang ingin mempunyai keturunan dengan cara ini sejak proses awal tindakan dan konsultasi sampai akhir tindakan merupakan saat-saat yang mendebarkan. Mereka akan dengan penuh harap menunggu hasil tindakan. Tim dokter yang menangani perlu memiliki ketelitian dan keahlian yang memadai. Hal ini perlu untuk keberhasilan tindakan itu sendiri dan juga untuk memberikan rasa percaya bagi pasien.
Terkadang timbul masalah setelah wanita tersebut melahirkan bayi tabung. Karena wanita tersebut dapat melahirkan tetapi prosesnya tidak seperti wanita lainnya, inilah kenyataan yang kadang masih belum dapat diterima oleh seorang wanita. Kehebatan teknologi transfer embrio bukan kebanggaan untuk dipublikasikan dengan mengungkap identitas pasien. Diharapkan wanita dan anak tabung tersebut dapat hidup dengan wajar. Jangan sampai mereka menjadi bahan pergunjingan dan tontonan.
Bagaimanapun masalah psikologis ini sangat tergantung dari kematangan mental pasangan tersebut. Selain itu sangat diperlukan dukungan moral dari berbagai pihak terutama dari tim medis yang menanganinya.
3.      Aspek hukum
Hukum yang berkaitan dengan bayi tabung adalah hukum yang mengatur hubungan dalam keluarga dan pergaulan dalam masyarakat.
Kedudukan yuridis dalam keluarga, anak tabung ini sama dengan anak angkat yang telah diadopsi dan anak kandung. Anak tabung ini berhak mendapatkan warisan dari orang tuanya, berhak mendapatkan perlindungan dan perawatan. Sebaliknya dia harus memenuhi kewajibannya mematuhi dan menghormati orang tuanya.
Adapun munculnya ibu pengganti, diperlukan perjanjian tertulis yang rinci,  misalnya perjanjian sewa-menyewa, jasa (mengandung untuk orang lain), penitipan dan sebagainya, juga perjanjian mengenai imbalan jasa, status anak dan sebagainya.[1]

C.      Hukum Bayi Tabung
1.      Landasan diharamkannya bayi tabung
Landasan diharamkannya bayi tabung sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT:
Artinya : “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.(QS. Al-Isra: 70)
Firman Allah SWT:
Artinya: Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(QS. At-Tin: 4)

Hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain)” (HR. Abu Daud, Thirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).

Kedua ayat dan Hadits di atas menerangkan bahwa bayi tabung dengan sperma donor itu haram. Karena pada hakikatnya dapat merendahkan harkan dan martabat manusia. Dalam hal itu manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Selain itu, diharamkannya bayi tabung dengan sperma donor karena akan menimbulkan percampuradukkan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, proses bayi tabung hendaknya dilakukan dengan memperhatikan nilai moral Islami dan tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaidah-kaidah syari’ah.
2.      Landasan diperbolehkannya
Firman Allah SWT:
اِÙ†َّ Ù…َعَ العُØ´ْرِ ÙŠُØ´ْرَا
Artinya: “Setiap ada kesulitan, ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 5).

Hadits Nabi yang diriwayatkan dari Anas Ra bahwa Nabi SAW telah bersabda: “Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para Nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad)
Dari ayat tersebut, dapat diketahui bahwa syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berusaha dalam menggapai karunia Allah. Termasuk dalam kesulitan reproduksi manusia. Dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dan menggunakannya sesuai dengan kaidah-kaidah ajaran-Nya.[2]
Kesulitan reproduksi tersebut dapat di atasi dengan upaya medis agar pembuahan antara sel sperma suami dengan sel telur istri dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Hal ini diperbolehkan dengan syarat jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan tidak berhasil. Dalam proses pembuahan di luar tempat yang alami tersebut, setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur istri dalam suatu wadah yang mempunyai kondisi mirip dengan kondisi alami rahim, maka sel telur yang telah terbuahi diletakkan pada tempatnya yang alami (rahim istri). Dengan demikian, kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal. Proses seperti itu merupakan upaya manusia melalui medis untuk mengatasi kesulitannya dalam reproduksi dan hukumnya boleh menurut syara’. Sebab upaya tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam yaitu kelahiran dan perbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan sebagaimana hadits di atas.
Dengan demikian, hukum bagi tabung itu mubah (boleh) dengan syarat sperma dan sel telur suami-istri itu sendiri bukan dari donor.
Adapun pendapat para ahli mengenai bayi tabung adalah sebagai berikut:
a.       Syekh Mahmud Syalthout (mantan rektor universitas Al-Azhar)
Menurut hukum syara’ apabila bayi tabung itu dengan air mani suaminya sendiri maka hal itu sudah sesuai dengan hukum dan dibenarkan oleh syara’ dan dipandang sebagai cara untuk menjalankan anak yang sah. Tetapi apabila bayi tabung itu berasal dari sperma lelaki lain yang tidak ada hubungan perkawinan, beliau mengatakan bahwa inseminasi tersebut dalam pandangan syari’at Islam adalah perbuatan munkar dan dosa besar perbuatan itu setara dengan zina dan akibatnyapun sama.

b.      Zakaria Ahmad al Bari
Inseminasi buatan itu boleh menurut syara’, jika dilakukan dengan sperma suami yang demikian masih dibenarkan oleh hukum dan syariat yang diikuti oleh masyarakat yang beradab. Tindakan tersebut diperbolehkan dan tidak menimbulkan noda atau dosa. Disamping itu tindakan demikian dapat dijadikan cara untuk mendapatkan anak yang sah menurut syara’ yang jelas ibu dan bapaknya.
c.       Syekh Yusuf al Qordowi
Apabila inseminasi yang dilakukan itu bukan air mani suami, maka tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut adalah sesuatu kejahatan yang sangat buruk dan merupakan perbuatan yang lebih hebat dari pada pengangkatan anak.
d.      Majelis pertimbagan dan syara’ (MPKS) Depkes
Permanian buatan dengan mani suami sendiri tidak dilarang, jadi kebanyakan ulama dapat menerima inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri, namun, ada juga yang menolak yaitu Syekh Mahroj Salama (Ulama Al-Azhar). Ulama yang satu ini berpendapat bahwa tidak boleh sama sekali dari suami sendiri maupun dari pihak isteri, karena agama telah meletakkan asas bagi suatu perkawinan untuk menjaga keturunan. Cara yang dilakukan seperti itu akan mengakibatkan terjadinya suatu penyimpangan.
3.      Status bayi tabung
Inseminasi buatan bila dilihat dari asal sperma atau ovumnya dapat dikategorikan dalam tiga golongan, yaitu:
a.       Inseminasi buatan dengan sperma suami
b.      Inseminasi buatan dengan sperma donor
c.       Inseminasi buatan dengan model titipan[3]


SIMPULAN

Dari uraian tersebut dapat kami simpulkan bahwa: Hukum bayi tabung pada hakikatnya haram bila dengan sperma donor dan boleh bila dengan sperma suami sendiri karena merupakan upaya untuk mendapatkan keturunan dengan memanfaatkan teknologi yang selalu berkembang dan menjunjung tinggi etika dan kaidah-kaidah syari’ah.
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga bermanfaat. Segala kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan makalah kedepan. Sekian, terimakasih.




DAFTAR PUSTAKA

Ghufron Mukti, Ali dan Adi Heru Sutomo. 1993.  Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal dan Operasi Kelamin dalam Tinjauan Medis, Hukum dan Agama Islam. Yogyakarta: Aditnya Media





[1] Ali Ghufran Mukti dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal dan Operasi Kelamin dalam Tinjauan Medis, Hukum dan Agama Islam, (Yogyakarta: Aditnya Media, 1993), h. 13-18.
[2] http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/hokum-bayi-tabung.html
[3] http://asysyariah.com/syariahphp?menu=detil&id-online=469 

Pendidikan Islam dalam Pondok Pesantren


PENDAHULUAN

Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga disebut juga institusi atau pranata. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Isla adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pemberdayaan.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem masyarkat atau bangsa. Dalam operasionalnya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat. Tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam diselenggarakan haruslah sesuai dengan tuntutan dan aspirasi msyarakat, sebab tanpa memperhatikan hal tersebut, barangkali untuk pencapaian kemajuan dalam perkembangannya agak sulit.
Berbicara tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut, di Indonesia memang terdapat banyak jenis dan bentuknya. Akan tetapi dalam konteks ini hanya pendidikan di pesantren saja yang pemakalah coba kemukakan.





PEMBAHASAN
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PONDOK PESANTREN

A.    Latar Belakang Historis Pesantren
1.      Pengertian Pesantren
Secara bahasa pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri.[1]
Secara terminologi banyak batasan yang diberikan oleh para ahli. M. Arifin, misalnya mendefinisikan pesantren sebagai sebuah pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar.[2] Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami dan mendalami, menghayati, serta mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehar-hari.[3]
2.      Sejarah Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang merupakan “Bapak” dari pendidkan islam di Indonesia yang didirikan karena adanya tuntutan kebuthan zaman, hal ini bisa idlihat dari perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren-pesantren dlahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiah.
Kehadiran pesantren di tengah-tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Dengan sifatnya yang lentur sejak awal kehadirannya, pesantren ternyata mampu mengadaptasi diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat.
Walaupun pada masa penjajahan, pesantren mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, pesantren massh bertahan terus dan tetap menampakkan tren lain. Di samping ada yang mempertahankan sistem-sistem tradisionalnya, sebagian pesantren telah membuka sistem semacam lembaga pendidikan kejuruan seperti bidang pertanian, peternakan, pertukangan, teknik, dan sebagainya.


3.      Landasan Ideologis Pendidikan Pesantren
Sebagai lembaga endidikan Islam yang mengandung makna keaslian Indonesia, posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan sub sistem pendidikan nasional. Karena itu, pendidikan pesantren memiliki dasar yang kuat, baik secara ideal, konstitusional maupun teologis. Landasan teologis ini menjadi idea, konstitusional maupun teologis. Landasan teologis ini menjadi penting bagi pesantren, dan penunjuk arah bagi semua aktivitasny.
Dasar ideal pendidikan pesantren adalah pasal 26 ayat 1 dan 4 undang-undang No. 20 Thun 2003, tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 1 disebutkan bahwa: “pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidkan sepanjang hayat”. Selanjutnya ayat 4 dnyatakan “satuan pendidikan formal sendiri atas lembaga kursus, lembaga elatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.[4]
Sedangkan dasr teologis pesantren adalah ajaran Islam, yakni bahwa melaksanakan pendidikan agama merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah kepada-Nya.

B.     Tujuan dan Sistem Pendidikan Pesantren
1.      Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat/berkhidmad kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarkat.[5]
Secara khusus tujuan dari pesantren adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam  ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat. Sedang secara umum tujuan dari masyarakat adalah membimbing anak didik menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarkat sekitar melalui ilmu dan amalnya.[6]
2.      Sistem Pendidikan Pesantren
a.       Kurikulum Pendidikan Pesantren
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tujuan pendidikan pesantren adalah membenutk kepribadian santri, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan ilmu pengetahuan, maka materi pelajaran pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang bersumber pda kitab-kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi, antara lain: Tauhid, tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, tasawuf, bahasa arab
b.      Metode Pengajaran Pendidkan Pesantren
Secara garis besar metode pengajaran yang dilaksanakan di pesantren masih bersifat tradisional, sedangkan metode-metode baru seringkali kurang mendapatkan simpati bahkan kadang-kadang diragukan oleh kalangan pesantren. Adapun metode pengajaran tradisional tersebut adalah:
a.       sorogan
Yaitu suatu sistem belajar secara individual dimana seorng santri berhadapan dengan seorang guru (kyai/guru menghadapi satu persatu, secara bergantian)
b.      bandungan
System bandungan ini sering disebut dengan halaqah, dimana sang kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas kitab-kitab salaf, sedangkan par asantri mendengarkan dan memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan keterangan-keterangannya.
c.       weton
pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, santri tidak harus membaca kitab karena seorang guru tidak hanya mengambil satu kitab saja, kadang guru memerik di sana-sini saja.







C.    Model-model Pesantren
1.      Pesantren Salaf
Menurut Zamakhsyari Dhofier, pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum.
Akan tetapi dewasa ini, kalangan pesantren termasuk pesantren salaf mulai menerapkan sistem atau model klasikal. Di mana kurikulum dan matero pelajaran dari kitab-kitab kuning, dilengkapi pelatihan ketrampilan seperti menjahit, mengetik dan bertukang.
2.      Pesantren Khalaf (modern)
Pesantren khalaf yaitu lembaga pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama dan juga memberikan pendidikan keterampilan, seperti SMP, SMU, dan bahkan perguruan tinggi dalam lingkungannya.
Akan tetapi, tidak berarti pesantren khalaf meninggalkan sistem salaf. Ternyata hampir semua pesantren modern meskipun telah menyelenggarakan sekolah-sekolah umum, tetapi tetap menggunakan sistem salaf pada produknya.[7]

D.    Strategi Pengembangan Pesantren
Pesantren aalah satu bentuk pendidikan Islam yang merupakan suatu sub sistem dari sistem pendidikan nasional. Dalam upaya pengembangn pesantren di masa yang akan datang, tampaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pengembangan dari segi eksternal dan dari segi internal.[8]
Ø  Yang termsuk pengembangan dari segi eksternal ialah:
1.      Tetap menjaga agar citra pondok di mata masyarakat sesuai dengan harapan masyarakat, harapan orang tua yang memasukkan anaknya ke psantren. Untuk hal ini mutu keluarga atau output pesantren harus mempunyai nilai tambah dari keluarga pendidika lainnya yang sederajat.
2.      Pesantren
Ø   
4.      Kurikulum yang digunakan
Ketika masih berlangsung di surau atau masjid, kurikulum pengajian masih dalam bentuk yang sederhana, yakni berapa inti ajaran Islam yang mendasar. Rangkaian trio komponen ajaran Islam yang berupa iman, Islam dan ihsan/doktrin, ritual dan mistik telah menjadi perhatian Kiai perintis pesantren sebagai isi kurikulum yang diajarkan kepada santrinya.
Pengembangan kurikulum lebih bersifat rincian materi pelajaran yang sudah ada daripada menambah disiplin ilmu yang baru sama sekali, diantaranya: Al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dengan ushul fiqh dan fawaid al fiqh, hadits dengan mushthalah hadits, Bahasa Arab dengan alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’, dan ‘arudh, tarikh, mantiq, akhlak dan falak. Selain itu juga penggunaan kitab-kitab referensi yang dianjurkan pada santri-santrinya oleh Sunan Giri.[9]

E.     Transformasi Sistem Pendidikan Pesantren
1.      Sistem Pendidikan Independen
Ada 3 elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai sub kultur.
a.       Pola kepemimpinan pesantren yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara
b.      Kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari beberapa abad.
c.       Sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas
Tiga elemen tersebut menjadi ciri yang menonjol selama ini. Pesantren baru mungkin bermunculan dengan tidak menghilngkan 3 elemen tersebut.
Pesantren adalah sistem pendidikan yang melakukan kegiatan sepanjang hari. Santri tinggal di asrama dalam suatu kawasan bersama guru, kyai dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara santri-santri Kyai dalam proses pendidikan berjalan intensif, tidak sekedar hubungan formal ustadz-santri di dalam kelas. Berikut adalah faktor yang menyebabkan pesantren menjadi alternatif secara lebih rinci sebagai berikut:
a.       Keberadaan sistem pondoknya, pendidikn dapat melakukan tuntutan dan pengawasan secara langsung
b.      Keakraban hubungan santri dan kyai sehingga dia bisa memberikan pengetahuan yang hidup
c.       Pesantren ternyata telah mampu mencetak orang-orang yang dapat memasuki semua lapangan kerja yang bersifat bebas.[10]
Pesantren mempunyai karakter plural, tidak seragam dan tidak memiliki wajah tunggal (uniform). Pluralitas pesantren ditunjukkan antara lain oleh tiadanya sebuah aturanpun baik menyangkut manajerial, administrasi, birokrasi, struktur, budaya, kurikulum apalagi pemihakan politik. Kuatnya indepedensi tersebut menyebabkan pesantren memiliki kebebasan relatif yang tidak harus mengikuti model baku yang ditetapkan pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantrenbebas mengembangkan kodel pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum yang ketat.
2.      Sistem Pendidikan Adaptif
Perubahan zaman yang begitu cepat menyadarkan kalangan pesantren untk melakukan  tindakan-tindakan yang memberi manfaat bagi kelangsungan dan pengembangan pendidikan Islam tertua ini menurut persepsi masing-masing pengasuh. Pengadopsian sistem pendidikan formal berjalan mengikuti perubahan zaman. Ringkas alurnya sebagai berikut:
a.       Sejak 1920, pesantren mulai mengadakan eksperimentasi dengan mendirikan sekolah-sekolah
b.      Pada tahun 1930, pesantren telah memperlihatkan kurikulum campuran
c.       Tahun 1960-1970-an, mendirikan sekolah agama negeri di lingkungan pesantren, percobaan isolasi di berbagai pesantren
Perubahan-perubahan itu menimbulkan beberapa kelemahan, yakni:
a.       Pesantren mengalami krisis identitas
b.      Mengurangi sikap indepedensi pesantren
c.       Timbulnya orientasi ekonomis di kalangan pesantren yang bisa mengurangi kadar keikhlasan santri ketika belajar di pesantren[11]
PENUTUP

Kesimpulan
Pesantren didefiniksn sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam. Klasifikasi pesantren, yaitu:
a.       Pesantren Salaf
b.      Pesantren Khalafi
c.       Pesantren Kilat
d.      Pesantren terintegrasi
Transformasi sistem pendidikan pesantren
a.       Sistem pendidikan independen
b.      Sistem pendidikan adaptif


DAFTAR PUSTAKA

Djamaludin dan Abdullah Aly. 1999. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
_________, dkk. 1999. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press.
Qomar, Mujamil. 2002. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi. Jakarta: Erlangga
Sholeh, Abdul Rahmad. 2000. Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta: Gema Windu Panca Perkasa
Yasmadi. 2005. Modernisasi Pesantren. Ciputat: Quantum Teaching.


[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 18
[2] M. Arifin, Kapita Selekta Pendiidkan,  (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240
[3] Mstuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 32
[4] UU No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (jakarta: Kaldera, 2003), h. 19-20
[5] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 1-2.
[6] Drs. H. Djamaludin dan Drs. Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia), h. 106.
[7] Wahioetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 82-89
[8] Wahioetomo, Perguruan Tinggi, (Jakata: Gema Insani Press, 1997), h. 82-89
[9] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, Op.Cit., h. 109-112.
[10] Ibid., h. 64.
[11] Ibid., h. 79-82

Manajemen Evaluasi Pembelajaran


PENDAHULUAN

Keberhasilan program pendidikan diukur dari nilai yang didapatkan. Penilaian tersebut termasuk dalam ruang lingkup evaluasi yang dilakukan pada akhir kegiatan belajar-mengajar.
Evaluasi sangat penting dilakukan guna memperbaiki hal-hal yang belum sesuai dengan tujuan pembelajaran sehingga diperoleh hasil pendidikan yang lebih baik.
Adapun evaluasi ini dilakukan secara bertahap dan universal melalui program-program yang ditawarkan oleh proses evaluasi.
Mengingat evaluasi pembelajaran ini sangat penting dilakukan oleh pendidik maupun stakeholder maka dianggap perlu dan mendesak untuk mengkaji lebih dalam mengenai evaluasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Selanjutnya pada makalah ini diuraikan mengenai pengertian, fungsi, tujuan, kegunaan, obyek dan subyek, program, sasaran prosedur pelaksanaan dari evaluasi.


PEMBASAHAN

A.    Pengertian Evaluasi
Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation, dalam bahasa Arab taqdir (التقدير) dalam bahasa Indonesia berarti penilaian.
Adapun menurut istilah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Evaluasi juga dapat diartikan suatu kegiatan atau proses penentuan nilai pendidikan, sehingga dapat diketahui mutu dan hasil-hasilnya.
Dalam penggunaan kata atau istlah evaluasi, penilaian dapat pengukuran, seringkali terjadi tumpang tindih, mengingat bahwa di antara 3 istilah tersebut saling terkait sehingga sulit untuk dibedakan.
Di bawah ini uraian yang dapat memperjelas perbadaan dari ketiga istilah tersebut.
1.    Pengukuran; yang dalam bahasa Inggrgis di kenal dengan mesuremen dan dalam bahasa Arabnya adalah muqoyasah yang dapat diartikan sebagai suatua kegiatan yang dilakukan untuk mengukur sesuatu. Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran tertentu.
2.    Penilaian berarti menilai sesuatu. Sedangkan menilai itu mengandung arti, mengambil sesuatu dengan mendasarkan dari atau berpegang pada ukuran baik atau buruk.
3.    Evaluasi adalah: mencakup dua kegiatan yang telah dikemukakan terlebih dahulu yaitu mencakup pengukuran dan penilaian. Evaluasi adalah suatu proses untuk menilai.

B.     Fungsi Evaluasi
1.    Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki 3 macam fungsi pokok, yaitu:
a.       Mengukur kemajuan
b.      Menunjang penyusunan suatu rencana
c.       Memperbaiki melakukan penyempurnaan.
2.    Adapun secara khusus fungsi evaluasi dapat dilihat secara psikologis fungsi evaluasi di sekolah dapat disoroti dari dua sisi, yaitu dari sisi peserta didik dan dari sisi pendidik.
Bagi para peserta didik secara didaktif evaluasi pendidikan (khususnya evaluasi hasil belajar akan dapat memberikan dorongan atau motivasi kepada mereka  untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan dan mempertahankan prestasinya dan bagi pendidik dalam didaktif, yaitu terdapat dalam:
-          Fungsi diagnostik
-          Fungsi penempatan
-          Fungsi selektif
-          Fungsi bimbingan
-          Fungsi instruksional
Secara administratif yaitu :
-          Dapat memberikan laporan
-          Dapat memberikan data
-          Dapat memberikan gambaran

C.    Tujuan evaluasi
1.      Tujuan umum
a.       Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang yang akan di jadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang dialami oleh peserta didik.
b.      Untuk mengetahui tingkat efektifitas dari metode-metode pengajaran yang telah dipergunakan dalam proses pembelajaran selama jangka waktu tertentu.
2.      Tujuan khusus
a.       Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan.
b.      Untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidak berhasilan peserta didik.

D.    Kegunaan evaluasi
1.      Terbukanya bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang hasil yang telah dicapai.
2.      Terbukanya kemungkinan untuk dapat diketahuinya relevansi antara program pendidikan yang telah dirumuskan dan tujuan yang hendak dicapai.
3.      Terbukanya keungkinan untuk dapat dilakukannya usaha perbaikan, penyesuaian dan penyempurnaan program pendidikan yang dipandang lebih berdaya guna dan berhasil guna.[1]

E.     Objek dan subjek evaluasi
1.      Objek evaluasi
Objek atau sasaran penilaian adalah segala sesuatu yang yang menjadi titik pusat pengamatan karena penilai menginginkan informasi tentang sesuatu tersebut, maka objek penilaian meliputi :
a.       Input
Calon siswa sebagai pribadiyang utuh, dapat ditinjau dari berbagai segi sehingga menghasilkan bermacam-macam bentuk tes yang digunakan untuk alat mengukur aspek yang bersifat rohani ada 4 hal :
-          Kemampuan
-          Kepribadian
-          Sikap
-          Intelegensi
b.      Transformasi
Unsur-unsur dalam transformasi yang menjadi objek penilaian antara lain:
-          Kurikulum/materi
-          Metode dan cara penilaian
-          Sarana pendidikan/media
-          Sistem administrasi
-          Guru dan personal lainnya.
c.       Output
Penilaian terhadap lulusan sesuatu sekolah dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pencapaian/prestasi belajar mereka selama mengikuti program.
2.      Subjek evaluasi
Yaitu orang yang melakukan pekerjaan evaluasi. Siapa yang dapat disebut sebagai subjek evvaluasi untuk setiap tes, ditentukan oleh suatu suatu aturan pembagian tugas atau ketentuan yang berlaku.[2]
3.      Fungsi evaluasi dalam proses belajar mengajar ada 4 fungsi antara lain :
a.       Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu.
b.      Untuk mengetahu tingkat keberhasilan program belajar mengajar.
c.       Untuk keperluan bimbingan dan konseling.
d.      Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang bersangkutan.[3]

F.     Program evaluasi
Yaitu suatu program yang berisi ketentuan dan cara-cara tentang penyelenggaraan atau pelaksanaan evaluasi pendidikan di suatu sekolah dan merupakan pegangan atau pedoman bagi guru yang mengajar di sekolah.
Ciri-ciri program evaluasi yang baik :
1.    Desain atau rancangan program evaluasi itu komprehensif.
2.    Perubahan-perubahan individu harus mendasari penilaian pertumbuhan dan perkembangan.
3.    Hasil evaluasi harus disusun dan dikelompokan sedemikian rupa sehingga memudahkan intreprestasi yang baik.
4.    Program evaluasi haruslah berkesinambungan dan saling berkaitan dengan kurikulum.[4]
5.     
G.    Prinsip-Prinsip Evaluasi
1.        Terus menerus / kontinu; artinya evaluasi ini tidak hanya dilakukan setahun sekali, sekuartal sekali, atau sebulan sekali, melainkan terus menerus, pada waktu mengajar sambil mengevaluasi sikap dan perhatian murid, pada waktu pelajaran hampir berakhir.
2.        Menyeluruh / komprehensif;
Adanya evaluasi yang meliputi semua aspek kepribadian manusia, misalnya aspek intelegensi, pemahaman, pensikapan, ketulusan, kedisiplinan, tanggung jawab dan sebagainya.
3.        Objektivitas;
Adanya evaluasi yang benar-benar objektif bukan subjektif, artinya pelaksanaan evaluasi berdasarkan keadaan yang sesungguhnya tidak dicampuri oleh hal yang bersifat emosional dan irasional.
4.        Validitas
Adanya evaluasi yang dilakukan berdasarkan hal-hal yang seharusnya dievaluasi, yang meliputi seluruh bidang-bidang tertentu yang diingini dan diselidiki, sehingga tidak hanya mencakup satu bidang saja.
5.        Rehabilitas;
Evaluasi itu dapat dipercayai, artinya memberikan evaluasi kepada peserta didik sesuai dengan tingkat kesanggupannya dan keadaan sesungguhnya.
6.        Efisiensi
Adanya evaluasi yang dapat menggunakan sarana dan prasarana yang baik, memanfaatkan waktu sebaik mungkin, mudah dalam proses administrasi dan interpretasinya sehingga evaluasi ini tidak tepat pada sasarannya.
7.        Ta’abbudiah dan ikhlas;
Adanya evaluasi yang dilakukan penuh keutulusan dan pengabdian kepada Allah Swt.
H.    Sasaran Evaluasi Pembelajaran
1.      Tujuan Pembelajaran
2.      Unsur dinamis pembelajaran
3.      Pelaksanaan pembelajaran
4.      Kurikulum
I.       Prosedur Pelaksanaan
1.      Langkah perencanaan data
2.      Langkah pengumpulan data
3.      Langkah penelitian data
4.      Langkah pengolahan data
5.      Langkah penafsiran data
6.      Langkah meningkatkan daya serap peserta didik
7.      Langkah hasil penelitian.[5]


PENUTUP

Dari pemaparan makalah di atas dapat kami simpulkan bahwa evaluasi pemelajaran adalah suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Guna sebagai tolak ukur dari proses belajar-mengajar sehingga tujuandari proses pembelajaran bisa tercapai sesuai dengan yang diharapkan.


DAFTAR PUSTAKA

Sudijono, Anas. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada,
Arikunto, Suharsimi, 1997. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta
Purwanto, Ngalim. 1997. Prinsip-Prinsip Dan Tekhnik Evaluasi Pengajaran, PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Daryanto, M. 2001. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta


[1] Prof. Drs. Anas Sudijono, pengantar evaluasi pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h.1
[2] Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara. Jakarta, 1997, h. 18-21
[3] Drs. M. Ngalim Purwanto. MP, Prinsip-Prinsip Dan Tekhnik Evaluasi Pengajaran, PT. remaja Rosdakarya. Bandung, h. 5-6
[4] Ibid. h. 15-19
[5] M. Daryanto, Evaluasi Pendidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta), h.