Tuesday, 14 May 2013

Konsep Pendidikan Menurut Ibn Khaldun


BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu penopang sebuah negara, kita ingat ketika negeri Jepang luluh lantak dibombardir bom atom pada tahun 1945, konon, salah satu hal yang dicari pertama kali adalah seorang guru. Artinya, betapa Jepang sangat membutuhkan tenaga pendidik untuk membangun kembali negaranya. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah suatu keniscayaan bagi sebuah negara yang menginginkan pencapaian kemajuan dalam segala bidang.
Kita sepakat bahwa untuk dapat membangun peradaban yang tinggi harus dimulai dengan memajukan pendidikan terlebih dahulu. Oleh karena itu maju tidaknya suatu negara ditentukan oleh tingkat kualitas pendidikan di dalamnya. Semakin bagus mutu / kualitas pendidikan suatu negara maka semakin maju peradaban yang dibangunnya.
Perkembangan dunia pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari sumbangsih para ilmuan yang mencurahkan segala perhatiannya pada dunia pendidikan. Begitu juga yang dilakukan oleh para ulama sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmunya. Salah satu ulama besar, filosof, psikolog sekaligus intelektual muslim adalah Ibn Khaldun. Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba memberikan sekelumit tentang biografi Ibn Khaldun dan pemikirannya dalam dunia pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ibn Khaldun
Ibn Khaldun mempunyai nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun.[1] Ia dilahirkan di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M.[2]
Ibn Khaldun berasal dari negeri Hadramaut Yaman yang silsilah keluarganya sampai pada Wali Bani Hijr. Sejak kecil beliau telah mendapat didikan langsung dari orang tuanya untuk mempelajari dasar-dasar pemahaman Al-Qur’an dan dilanjutkan kepada seorang yang ahli dalam Al-Qur’an, bernama Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Said Al-Anshary.
Dalam ilmu fiqih dan ilmu hadits, Ibn Khaldun berguru kepada banyak orang misalnya Syam Ad-Din Abu Abdillah bin Jabir bin Sulthan Al-Qasysyi, Abu Abdillah Al- Jayani, Abu  Al-Qasim  Muhammad bin Al-Qashir, Abu ‘Abdillah Muhammad Sulaiman As-Sathy dan Abu Muhammad bin Abdul Muhaymin Al-Hadramy. Ini semua menunjukan keseriusan beliau dalam menimba bidang ilmu yang ditekuninya, tidak hanya asal-asalan dan merasa cukup berguru  kepada satu atau dua orang saja. Di samping itu, berkat dukungan material dan dorongan orangtuanya yang sungguh-sungguh memberikan arahan kepada putranya dalam belajar ilmu.
Proses belajar yang panjang dan melelahkan telah beliau jalani sampai berusia 20 tahun, dengan ditandai dengan berbagai ijazah tadris dari para gurunya. Buah dari itu semua dapat kita saksikan dari karya tulis beliau yang sangat fundamental dan monumental, yang berjudul sangat panjang, yaitu “Al-Ibrar wa Diwan Al-Mubtada wa Al-Khobar fi Ayyam Al-‘Arabi wa Al-Ajam  wa Al-Barbar wa man Asrahum min Zawi As-Sulthan Al- Akbar”. [3]
Selain dikenal sebagai filusuf, Ibn Khaldun dikenal sebagai sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari pengalamanya sebagai pendidik yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainya. Pada tahun 1406, Ibn Khaldun meninggal dunia di Mesir dalam usia 74 tahun (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009:282).
Diantara sekian banyak pendidik yang tempat Ibn Khaldun menimba ilmu, ada dua orang yang yang dianggap paling berjasa terhadapnya, yaitu syaikh Muhammad Ibn Ibrahim Al-Abili dalam ilmu-ilmu filsafat dan Syaikh Abdul Muhaimin Ibn Al- Hadrami dalam ilmu-ilmu agama. Dari dua pendidik itu ia mempelajari kitab-kitab hadits seperti al-Kutub al-Sittah dan al-Muwatta’ (Ramayulis dan samsul Nizar, 2009:283).[4]
B.     Pemikiran Ibn Khaldun tentang Pendidikan
1.      Tujan Pendidikan
Menurut Syaibani (1979:39), yang dimaaksud tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan yang diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tempat individu itu hidup.[5]
Ibn Khaldun berpendapat bahwa tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal. Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus menyebutkan tiga tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun, yaitu:
a.       Tujuan peningkatan pemikiran
Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan pada akal untuk lebih giat dan melaksanakan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan.
Dengan menuntut ilmu dan ketrampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya. Di samping itu, melalui potensinya, akan mendorong manusia untuk memperoleh dan melestarikan pengetahuan. Melalui proses belajar, manusia senantiasa mencoba meneliti pengetahuan-pengetahuan atau informasi-informasi yang diperoleh oleh pendahulunya.
Atas dasar pemikiran tersebut, tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuanya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.
b.      Tujuan peningkatan kemasyarakatan
Menurut Ibn Khaldun, ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan masyarakat tersebut. Untuk itu, manusia seyogyanya berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya.
c.       Tujuan pendidikan dari segi keruhanian
Tujuan pendidikan dari segi keruhanian adalah dengan meningkatkan  keruhanian manusia dengan menjalankan praktik ibadah, dzikir, khalwat (menyendiri), dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan para sufi.[6]
Syamsul Nizar menyebutkan tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun yaitu:
a.       Pengembangan kemahiran (al-makalah atau skill) dalam bidang tertentu.
b.      Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman (link and match).
c.       Pembinaan pemikiran yang baik.[7]
2.      Klasifikasi Ilmu
Ibn Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Ilmu Lisan (bahasa)
Yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b.      Ilmu Naqli
Yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci Al-Qur’an dan tafsirnya, sanad dan hadits yang pentashihannya serta istimbat tentang kaidah-kaidah fiqih. Dengan ilmu ini manusia dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia.
c.       Ilmu Aqli
Yaitu ilmu yang diperoleh manusia melalui kemampuan berfikir. Proses perolehannya dilakukan melalui panca indra dan akal.[8]
Ibn Khaldun menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingan bagi peserta didik kepada beberapa ilmu, yaitu:
a.       Al-Qur’an
b.      Ulumul Qur’an
c.       Ulumul Hadits
d.      Ushul Fiqih
e.       Fiqih
f.       Ilmu Kalam
g.      Ilmu Tasawuf
h.      Ilmu Ta’bir al-Ru’ya
Sedangkan untuk ilmu aqli, Ibn Khaldun membaginya menjadi empat kelompok, yaitu:
a.       Ilmu Logika
b.      Ilmu Fisika
c.       Ilmu Metafisika
d.      Ilmu Matematika[9]
3.      Sifat-Sifat Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengerti setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendakanya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik, kemampuan ini akan bermanfaat untuk menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini Ibn Khaldun mengemukakan 6 prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a.       Prinsip pembiasaan
b.      Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.       Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.      Prinsip kontinuitas
e.       Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.       Menghindari kekerasan dalam mengajar[10]
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya. Sifat-sifat tersebut antara lain:
a.       Pendidik hendaknya memiliki sifat lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis peserta didik, tertutama terhadap peserta didik yang masih kecil.
b.      Pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai uswatun khasanah (teladan yang baik) bagi peserta didik.
c.       Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan pengajaran sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proposional.
d.      Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna.
e.       Pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya, serta kesiapan untuk menerima pelajaran.[11]
4.      Peserta Didik
Dalam kaitannya dengan peserta didik, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a.       Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b.      Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c.       Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d.      Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e.       Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
f.       Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.[12]
5.      Metode Pengajaran
a.       Metode pentahapan dan pengulangan.
b.      Menggunakan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran.
c.       Widya-wisata merupakan alat untuk mendapatkan pengalaman yang langsung.
d.      Tidak memberikan materi yang rumit kepada anak yang baru belajar permulaan.
e.       Harus ada keterkaitan dalam disiplin ilmu.
f.       Tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu.
g.      Hendaknya jangan mengajarkan Al-Qur’an kepada anak kecuali setelah sampai pada tingkat kemampuan berfikir tertentu.
h.      Menghindari mengajarkan ilmu dengan Ikhtisarnya.[13]
6.      Prinsip-Prinsip dalam Proses Belajar Mengajar
Ibn Khaldun meletakkan prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai sesuatu hal yang sangat mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
a.       Adanya pentahapan dan pengulangan secara berproses, yang harus disesuaikan dengan kemampuan siswa dan tema-tema yang diajarkan.
b.      Tidak membebani peserta didik.
Seorang guru hendaknya selalu mempersiapkan cara yang akan dipergunakan dan dikembangakan dalam proses memberikan pemahaman dan penerimaan ilmu secara bertahap, terutama ketika ia berusaha memberikan materi baru atau pengetahuan baru, yang tentunya akan memberikan beban tambahan dalam proses penerimaan pengetahuan dan materi lainnya.
c.       Tidak pindah dari satu materi ke materi lain sebelum siswa memahami secara utuh.
Seorang guru tidak dianjurkan berpindah pada materi yang baru sebelum ia yakin bahwa siswanya telah paham terhadap materi pelajaran yang lalu. Hal tersebut ditandai dengan bertambahnya tingkat kemampuan yang dimiliki siswa dan daya kesiapan yang dimilikinya.
d.      Lupa merupakan hal yang biasa dalam belajar. Solusinya adalah sering  mengulang dan mempelajarinya kembali.
Ibn Khaldun dengan prinsip belajar mengajarnya, menghendaki agar seorang guru juga memperhatikan terhadap proses pendidikan potensi yang dimiliki seorang siswa. Hal tersebut tentu akan membutuhkan proses waktu, sedangkan waktu juga berpengaruh negatif terhadap memori seseorang. Namun hal negatif tersebut dapat diselesaikan dengan senantiasa mengulang  kembali.
e.       Tidak bertindak keras terhadap peserta didik.
Ibn Khaldun berpendapat bahwa tindakan keras atau kasar terhadap siswa dapat menyebabkan munculnya sikap rendah diri, dan mendorong seseorang memiliki perilaku dan kebiasaan buruk.[14]


BAB III
PENUTUP

Dari beberapa uraian di atas, terlihat bahwa Ibn Khaldun adalah seorang tokoh yang yang menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat dengan baik.
Aspek-aspek yang dapat mendukung proses pendidikan mulai dari peserta didik, pendidik, sarana dan prasarana harus benar-benar diperhatikan karena akan sangat berpengaruh pada jalannya proses pendidikan.
Untuk itu hendaknya tidak mengabaikan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri yaitu berorientasi pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian peserta didik. Guru sebagai pendidik diharuskan mampu membaca situasi dan kondisi dalam pembelajaran, mengetahui psikologi anak dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H. M. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
http://radenkangmasfadil.blogspot.com/2011/04/konsep-pendidikan-dalam-perspektif-ibnu.html (di akses 18 April 2012)
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Isalam. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers.
Susanto. 2009. Pemikiran Pendidikabn Islam. Jakarta: Amzah.


[1] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 99.
[2] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 91.
[3] Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 46.
[4] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahmus, Op. Cit., hal 100-102.
[5] Ibid.
[6] Ibid.  hal. 103-104.
[7] Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 94.
[8] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 175-176.
[9] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., hal. 105-106.
[10] Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 94-95.
[11] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., hal. 107-108.
[12] http://radenkangmasfadil.blogspot.com/2011/04/konsep-pendidikan-dalam-perspektif-ibnu.html (di akses 18 April 2012)
[13] H. M. Arifin, Perbaandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 199-209.
[14] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., hal. 109-112.

0 komentar:

Post a Comment