BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu
penopang sebuah negara, kita ingat ketika negeri Jepang luluh lantak
dibombardir bom atom pada tahun 1945, konon, salah satu hal yang dicari pertama
kali adalah seorang guru. Artinya, betapa Jepang sangat membutuhkan tenaga
pendidik untuk membangun kembali negaranya. Hal ini mengindikasikan bahwa
pendidikan adalah suatu keniscayaan bagi sebuah negara yang menginginkan
pencapaian kemajuan dalam segala bidang.
Kita sepakat bahwa untuk dapat
membangun peradaban yang tinggi harus dimulai dengan memajukan pendidikan
terlebih dahulu. Oleh karena itu maju tidaknya suatu negara ditentukan oleh
tingkat kualitas pendidikan di dalamnya. Semakin bagus mutu / kualitas
pendidikan suatu negara maka semakin maju peradaban yang dibangunnya.
Perkembangan dunia pendidikan
tentunya tidak akan terlepas dari sumbangsih para ilmuan yang mencurahkan
segala perhatiannya pada dunia pendidikan. Begitu juga yang dilakukan oleh para
ulama sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmunya. Salah
satu ulama besar, filosof, psikolog sekaligus intelektual muslim adalah Ibn
Khaldun. Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba memberikan sekelumit tentang
biografi Ibn Khaldun dan pemikirannya dalam dunia pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibn Khaldun
Ibn Khaldun mempunyai nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn
Muhammad Ibn Khaldun.[1] Ia
dilahirkan di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M.[2]
Ibn Khaldun berasal dari negeri Hadramaut Yaman yang silsilah keluarganya
sampai pada Wali Bani Hijr. Sejak kecil beliau telah mendapat didikan langsung dari
orang tuanya untuk mempelajari dasar-dasar pemahaman Al-Qur’an dan dilanjutkan
kepada seorang yang ahli dalam Al-Qur’an, bernama Syaikh Abu Abdillah Muhammad
bin Said Al-Anshary.
Dalam ilmu fiqih dan ilmu hadits, Ibn Khaldun berguru kepada banyak orang
misalnya Syam Ad-Din Abu Abdillah bin Jabir bin Sulthan Al-Qasysyi, Abu
Abdillah Al- Jayani, Abu Al-Qasim Muhammad bin Al-Qashir, Abu ‘Abdillah
Muhammad Sulaiman As-Sathy dan Abu Muhammad bin Abdul Muhaymin Al-Hadramy. Ini
semua menunjukan keseriusan beliau dalam menimba bidang ilmu yang ditekuninya,
tidak hanya asal-asalan dan merasa cukup berguru kepada satu atau dua orang saja. Di samping
itu, berkat dukungan material dan dorongan orangtuanya yang sungguh-sungguh
memberikan arahan kepada putranya dalam belajar ilmu.
Proses belajar yang panjang dan melelahkan telah beliau
jalani sampai berusia 20 tahun, dengan ditandai dengan berbagai ijazah
tadris dari para gurunya. Buah dari itu semua dapat kita saksikan dari
karya tulis beliau yang sangat fundamental dan monumental, yang berjudul sangat
panjang, yaitu “Al-Ibrar wa Diwan Al-Mubtada wa Al-Khobar fi Ayyam Al-‘Arabi
wa Al-Ajam wa Al-Barbar wa man Asrahum
min Zawi As-Sulthan Al- Akbar”. [3]
Selain dikenal sebagai filusuf, Ibn Khaldun dikenal sebagai
sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap bidang pendidikan. Hal ini
terlihat dari pengalamanya sebagai pendidik yang berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lainya. Pada tahun 1406, Ibn Khaldun meninggal dunia di Mesir
dalam usia 74 tahun (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009:282).
Diantara sekian banyak pendidik yang tempat Ibn Khaldun menimba ilmu, ada
dua orang yang yang dianggap paling berjasa terhadapnya, yaitu syaikh Muhammad
Ibn Ibrahim Al-Abili dalam ilmu-ilmu filsafat dan Syaikh Abdul Muhaimin Ibn Al-
Hadrami dalam ilmu-ilmu agama. Dari dua pendidik itu ia mempelajari kitab-kitab
hadits seperti al-Kutub al-Sittah dan al-Muwatta’ (Ramayulis dan samsul
Nizar, 2009:283).[4]
B. Pemikiran Ibn Khaldun tentang Pendidikan
1. Tujan Pendidikan
Menurut Syaibani
(1979:39), yang dimaaksud tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan
yang diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan
pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar
tempat individu itu hidup.[5]
Ibn Khaldun
berpendapat bahwa tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal.
Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus menyebutkan tiga tujuan pendidikan menurut
Ibn Khaldun, yaitu:
a. Tujuan peningkatan pemikiran
Ibn Khaldun
memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan pada
akal untuk lebih giat dan melaksanakan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan
melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan.
Dengan menuntut
ilmu dan ketrampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi
akalnya. Di samping itu, melalui potensinya, akan mendorong manusia untuk
memperoleh dan melestarikan pengetahuan. Melalui proses belajar, manusia
senantiasa mencoba meneliti pengetahuan-pengetahuan atau informasi-informasi
yang diperoleh oleh pendahulunya.
Atas dasar
pemikiran tersebut, tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan
kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut,
manusia akan dapat meningkatkan pengetahuanya dengan cara memperoleh lebih
banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.
b. Tujuan peningkatan kemasyarakatan
Menurut Ibn
Khaldun, ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat ke arah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat,
semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan masyarakat tersebut. Untuk itu,
manusia seyogyanya berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan sebanyak mungkin
sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam
masyarakat yang dinamis dan berbudaya.
c. Tujuan pendidikan dari segi keruhanian
Tujuan pendidikan dari segi keruhanian
adalah dengan meningkatkan keruhanian
manusia dengan menjalankan praktik ibadah, dzikir, khalwat (menyendiri), dan
mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah
sebagaimana yang dilakukan para sufi.[6]
Syamsul Nizar menyebutkan tujuan pendidikan menurut
Ibn Khaldun yaitu:
a. Pengembangan kemahiran (al-makalah atau skill)
dalam bidang tertentu.
b. Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman
(link and match).
2. Klasifikasi Ilmu
Ibn Khaldun
membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ilmu Lisan (bahasa)
Yaitu ilmu tentang
tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b. Ilmu Naqli
Yaitu ilmu yang
diambil dari kitab suci dan sunah Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci
Al-Qur’an dan tafsirnya, sanad dan hadits yang pentashihannya serta istimbat
tentang kaidah-kaidah fiqih. Dengan ilmu ini manusia dapat mengetahui
hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia.
c. Ilmu Aqli
Yaitu ilmu yang
diperoleh manusia melalui kemampuan berfikir. Proses perolehannya dilakukan
melalui panca indra dan akal.[8]
Ibn Khaldun
menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingan bagi peserta
didik kepada beberapa ilmu, yaitu:
a. Al-Qur’an
b. Ulumul Qur’an
c. Ulumul Hadits
d. Ushul Fiqih
e. Fiqih
f. Ilmu Kalam
g. Ilmu Tasawuf
h. Ilmu Ta’bir al-Ru’ya
Sedangkan untuk
ilmu aqli, Ibn Khaldun membaginya menjadi empat kelompok, yaitu:
a. Ilmu Logika
b. Ilmu Fisika
c. Ilmu Metafisika
3. Sifat-Sifat Pendidik
Seorang pendidik
hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis
peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengerti setiap
individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar
mengajar. Para pendidik hendakanya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta
didik, kemampuan ini akan bermanfaat untuk menetapkan materi pendidikan yang
sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.
Dalam melaksanakan
tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang
efektif dan efisien. Dalam hal ini Ibn Khaldun mengemukakan 6 prinsip utama
yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a. Prinsip pembiasaan
b. Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c. Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d. Prinsip kontinuitas
e. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila
memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya. Sifat-sifat tersebut
antara lain:
a. Pendidik hendaknya memiliki sifat lemah lembut, senantiasa
menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis
peserta didik, tertutama terhadap peserta didik yang masih kecil.
b. Pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai uswatun
khasanah (teladan yang baik) bagi peserta didik.
c. Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam
memberikan pengajaran sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara
proposional.
d. Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang
berguna.
e. Pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan yang luas
tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan jiwanya, serta kesiapan untuk menerima pelajaran.[11]
4. Peserta Didik
Dalam kaitannya
dengan peserta didik, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan
pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof,
baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat
manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di
masyarakat.
Peserta didik merupakan orang yang
belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu
dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani
maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun
perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat,
kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a.
Peserta didik bukan merupakan
miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat
penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan
tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode,
mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan
sebagainya.
b.
Peserta didik adalah manusia yang
memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas
kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang
pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta
didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau
pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c.
Peserta didik adalah manusia yang
memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani
yang harus dipenuhi.
d.
Peserta didik adalah makhluk Allah
yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang
disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e.
Peserta didik merupakan resultan dari
dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik
yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses
pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya
rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui
ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui
pendidikan akhlak dan ibadah.
f.
Peserta didik adalah manusia yang
memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara
dinamis.[12]
5. Metode Pengajaran
a. Metode pentahapan dan pengulangan.
b. Menggunakan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran.
c. Widya-wisata merupakan alat untuk mendapatkan pengalaman yang
langsung.
d. Tidak memberikan materi yang rumit kepada anak yang baru belajar
permulaan.
e. Harus ada keterkaitan dalam disiplin ilmu.
f. Tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu
waktu.
g. Hendaknya jangan mengajarkan Al-Qur’an kepada anak kecuali
setelah sampai pada tingkat kemampuan berfikir tertentu.
6. Prinsip-Prinsip dalam Proses Belajar Mengajar
Ibn Khaldun
meletakkan prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai sesuatu hal yang
sangat mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
a. Adanya pentahapan dan pengulangan secara berproses, yang harus
disesuaikan dengan kemampuan siswa dan tema-tema yang diajarkan.
b. Tidak membebani peserta didik.
Seorang guru
hendaknya selalu mempersiapkan cara yang akan dipergunakan dan dikembangakan
dalam proses memberikan pemahaman dan penerimaan ilmu secara bertahap, terutama
ketika ia berusaha memberikan materi baru atau pengetahuan baru, yang tentunya
akan memberikan beban tambahan dalam proses penerimaan pengetahuan dan materi
lainnya.
c. Tidak pindah dari satu materi ke materi lain sebelum siswa
memahami secara utuh.
Seorang guru tidak
dianjurkan berpindah pada materi yang baru sebelum ia yakin bahwa siswanya
telah paham terhadap materi pelajaran yang lalu. Hal tersebut ditandai dengan
bertambahnya tingkat kemampuan yang dimiliki siswa dan daya kesiapan yang
dimilikinya.
d. Lupa merupakan hal yang biasa dalam belajar. Solusinya adalah
sering mengulang dan mempelajarinya
kembali.
Ibn Khaldun dengan
prinsip belajar mengajarnya, menghendaki agar seorang guru juga memperhatikan
terhadap proses pendidikan potensi yang dimiliki seorang siswa. Hal tersebut
tentu akan membutuhkan proses waktu, sedangkan waktu juga berpengaruh negatif
terhadap memori seseorang. Namun hal negatif tersebut dapat diselesaikan dengan
senantiasa mengulang kembali.
e. Tidak bertindak keras terhadap peserta didik.
Ibn Khaldun berpendapat
bahwa tindakan keras atau kasar terhadap siswa dapat menyebabkan munculnya
sikap rendah diri, dan mendorong seseorang memiliki perilaku dan kebiasaan
buruk.[14]
BAB III
PENUTUP
Dari beberapa uraian di atas,
terlihat bahwa Ibn Khaldun adalah seorang tokoh yang yang menaruh perhatian
yang besar terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat
dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus
dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat
dengan baik.
Aspek-aspek yang dapat mendukung
proses pendidikan mulai dari peserta didik, pendidik, sarana dan prasarana
harus benar-benar diperhatikan karena akan sangat berpengaruh pada jalannya
proses pendidikan.
Untuk itu hendaknya tidak
mengabaikan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri yaitu berorientasi pada
pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian peserta didik. Guru
sebagai pendidik diharuskan mampu membaca situasi dan kondisi dalam
pembelajaran, mengetahui psikologi anak dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H. M.
2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
http://radenkangmasfadil.blogspot.com/2011/04/konsep-pendidikan-dalam-perspektif-ibnu.html
(di akses 18 April 2012)
Kurniawan,
Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Isalam.
Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nata, Abudin.
1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nizar, Samsul.
2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta:
Ciputat Pers.
Susanto. 2009. Pemikiran
Pendidikabn Islam. Jakarta: Amzah.
[1]
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Yogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 99.
[2]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 91.
[3]
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 46.
[4]
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahmus, Op. Cit., hal 100-102.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid. hal. 103-104.
[7]
Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 94.
[8]
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), hal. 175-176.
[9]
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., hal. 105-106.
[10]
Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 94-95.
[11]
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., hal. 107-108.
[12] http://radenkangmasfadil.blogspot.com/2011/04/konsep-pendidikan-dalam-perspektif-ibnu.html
(di akses 18 April 2012)
[13]
H. M. Arifin, Perbaandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), hal. 199-209.
[14]
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., hal. 109-112.
0 komentar:
Post a Comment